Torehan gambar Apri Kusbiantoro sebagai komikus sudah menembus Eropa. Karyanya diterbitkan di Belanda, Belgia, dan Jerman. Dia punya ciri khas dengan rilisan original artwork.
DRIAN BINTANG SURYANTO, Jogjakarta, Jawa Pos
—
DALAM sebuah planet bernama Boritas, hidup seorang buron terkenal. Saul namanya. Entah apa yang sudah dilakukan pria tersebut. Namun, pemerintah di planet tersebut enggan memberikan pengampunan. Setiap hari Saul melewati hari penuh kecemasan. Berandai-andai, adakah pasukan pemerintah yang sedang mengincarnya.
Begitulah cuplikan cerita komik berjudul Saul yang sedang dikerjakan Apri. Komik itu sedang melambungkan namanya di kancah perkomikan Eropa.
Komik tersebut kali pertama dia kerjakan tahun lalu. Dia merintis Saul, mulai pembuatan karakter hingga latar belakang cerita. Hasil dari narasi awal yang dia kerjakan tersebut kemudian diserahkan kepada salah satu penerbit di Belgia dan Belanda.
Dari situlah, Apri kemudian mendapatkan seorang penulis. Namanya Willem Ritstier. Dia bertugas mengembangkan ide cerita yang sudah dibuat Apri. “Kalau saya sendiri yang buat, nggak kuat,” kata Apri saat ditemui di kediamannya di Bantul, Jogjakarta, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut memang sudah menjadi hal yang lumrah di dunia perkomikan Eropa. Sebuah seri komik dikerjakan penulis dan ilustrator gambar yang berbeda. Komik Saul buatan Apri saat ini diterbitkan di Belgia dan Belanda.
Baru-baru ini dia menandatangani kontrak dengan penerbit Jerman. Saat ini Apri tengah mengerjakan seri kedua yang rencananya terbit tahun depan. “Ini akan jadi komik pertama Saul yang terbit di Jerman,” katanya.
Apri menjelaskan, setiap karakter dan cerita yang dibuat memiliki royalti. Penerbit tidak memiliki hak sama sekali untuk ikut campur mengubah karakter dan penulisan narasi komik tersebut.
Berbeda halnya dengan sistem penulisan komik yang ada di AS atau Jepang. Seorang penulis hanya berhak menciptakan karakter ke sebuah penerbit. Karakter tersebut kemudian menjadi miliki penerbit.
Karena itu, sekalipun suatu saat nanti penulisnya keluar dari penerbitan tersebut, cerita dari karakter yang diciptakan penulis itu masih bisa dilanjutkan ilustrator dan penulis lainnya dari penerbit. Tidak ada kepentingan dari penerbit memberikan royalti kepada orang yang pertama membuat karakter tersebut.
Itu jugalah alasan Apri lebih suka bergelut di dunia komik Eropa. Penerbit menyerahkan semua hak penulisan komik tersebut kepada penulis. Para penggemar tebitan komik Eropa pun begitu.
Ketika menyukai sebuah komik, mereka akan mengenali penciptanya. Tak jarang, ada penggemar yang sengaja menyimpan koleksi komik dari penulis tertentu.
Komik Apri diterbitkan di Belgia dan Belanda. Namun, tak jarang dia diundang dalam acara comic-con yang diadakan di beberapa negara lain seperti Prancis. Dalam setiap undangan tersebut, ada satu hal yang menjadi kebiasaan Apri.
Dia suka membawa gambaran komiknya yang dikerjakan di rumahnya di daerah Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). “Beda dengan komikus lain, saya memang mengerjakan komik dengan cara manual,” paparnya.
Setiap komik yang diproduksi Apri digambar sendiri di sebuah kertas berukuran A3. Setiap panel dia gores dengan menggunakan tangan. Mulai penggambaran dengan pensil hingga pewarnaan menggunakan kuas.
Karena secara manual, pengerjaannya otomatis membutuhkan waktu cukup lama. Menurut dia, paling cepat dalam satu halaman dikerjakan dua hari. Satu edisi komik biasanya berisi 44 lembar. Belum lagi, jika penerbit meminta adanya revisi.
“Kalau revisi, biasanya saya kerjakan di kertas sendiri, di panel yang menurut mereka butuh diganti. Nanti mereka digitalisasi sendiri, untuk di-print,” terang bapak satu anak tersebut.
Pengerjaan komiknya memang memakan waktu cukup lama. Apri mengaku, niat untuk mengerjakan harus besar. Namun, itu memberikan kelebihan tersendiri bagi Apri.
Setiap ada pertemuan yang diadakan di Eropa, dia selalu berkesempatan menjual panel yang dikumpulkan tersebut. Bagi para penggemar komik, original artwork memang selalu menjadi incaran para pembaca. Tak jarang, mereka akan merogoh kocek cukup dalam untuk itu.
Setiap satu halaman, Apri biasanya menghargai hasil karyanya dengan kisaran harga euro 250-1.400. Harga itu bergantung penting tidaknya panel tersebut dalam sebuah cerita.
Harga termahal dia kenakan pada halaman yang memperlihatkan karakter utama yang sedang bertarung atau original artwork dari sampul halaman.
“Jadi, kalau jual beginian (original artwork, Red) saya biasanya bisa nambah uang buat jajan di sana,” celotehnya, lantas tertawa.
Karir Apri bermula dari sebuah tempat persewaan komik yang ada di kampung halamannya, Selong, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Apri kecil dulu merupakan pelanggan setia di persewaan komik tersebut.
Nama-nama komik yang paling gemar dia pinjam beragam. Mulai Jaka Tuak, Ki Ageng Brangasan, Jaka Sembung, hingga Gundala. Tahun 80-an dia mulai mengenal beberapa komik dari luar negeri seperti Asterix & Obelix dan Storm and Trigan.
“Waktu SMA saya sering bikin komik, tapi tidak pernah selesai,” lanjut Apri.
Tepat pada 1994, ketika menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) di Jogjakarta, Apri kali pertama membuat sebuah komik yang berhasil diselesaikan. Komik tersebut berjudul Bunglon.
Dia lantas mengikutsertakan komik tersebut ke sebuah pementasan sehingga menyabet juara pertama. Setelah lulus dari desain komunikasi visual (DKV), Apri memutuskan untuk bergelut di bidang animasi. Dia membentuk sebuah perusahaan animasi sendiri.
“Sampai pada 2001 itu, saya iseng mengerjakan komik biografi tentang pelawak bernama George Carlin,” beber Apri. Saat itulah dia mantap untuk bergelut di dunia komik hingga saat ini.
Selama itu pula, Apri lebih memilih untuk berkarir di kancah perkomikan Eropa. Itu tidak berarti sebelumnya Apri tak mencoba peruntungan di tanah air. Dia pernah menciptakan sebuah komik berjudul Mahabharata.
Seperti namanya, komik tersebut bercerita tentang pewayangan. Selain menjadi komikus, cita-cita lain Apri kecil adalah menjadi dalang. Dia seolah tersihir dengan cerita-cerita tokoh pewayangan yang ada di dalamnya. Penciptaan komik tersebut pun menjadi pewujudan mimpinya sejak kecil.
Sayang, komik itu harus berhenti di seri kedua.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor kenapa komik Apri tidak disukai banyak penggemar komik di Indonesia. Apri menjelaskan, kebanyakan membaca komiknya di waktu luang. Sekadar untuk melepaskan penat setelah seharian bekerja.
Karena itu, mereka lebih berharap untuk membaca sebuah komik yang mudah dicerna. Juga, dengan teknik penggambaran yang terbilang lucu dan sederhana. Berbeda dengan komik yang diciptakan Apri. Komik yang dia buat selalu memiliki unsur penulisan yang sedemikian rupa. Memaksa pembacanya untuk berpikir.
Karakteristik gambarannya pun lebih ke arah realis ketimbang menyerupai manga Jepang. “Sedangkan penggemar saya di Eropa adalah orang-orang tua yang sudah berumur. Jadi, mungkin memang sudah berbeda pasar,” tuturnya.
Apri juga bukan tipe komikus yang mau menjual komiknya di dunia maya atau di sebuah wadah pembacaan komik di gawai. Meski diciptakan di sebuah komputer, komik Mahabharata Apri sama sekali tidak bisa ditemukan versi online-nya.
Apri mengaku juga tidak tertarik untuk membuat versi online dari komiknya. Sebagai komikus, dia memang memiliki idealisme tersendiri. “Karena memang membaca komik itu seharusnya dipegang, bukan hanya di-swipe di handphone,” katanya.
Keluarga menjadi pendukung utama Apri. Sang istri, Khaerina, yang dinikahinya pada 2015 menjadi manajernya. Untuk mengurusi akomodasi saat dia mendapat undangan ke Eropa. “Mulai pesawat, hotelnya, sampai uang rokok juga saya ngurusi,” ujar perempuan yang biasa disapa Kae itu.
Sejak itu, Apri pun menjadi lebih perhatian terhadap pengeluarannya. Ada kisah lucu yang baru dia sadari ketika sang istri bertindak sebagai manajer. Di tengah jadwal comic-con dan fan signing yang didatangi, Apri selalu menyempatkan diri untuk minum di sebuah bar. Sudah menjadi budaya, dari pengunjung di sana, memberikan tip kepada pelayan. Begitu juga yang dilakukan Apri.
Karena terbiasa menganggap uang koin di Indonesia sebagai pecahan yang memiliki nilai terendah, Apri pun selalu memberikan uang pecahan euro 2 kepada pelayan tempatnya melepas dahaga.
Dulu dia tidak pernah mengerti, kenapa rekan sepenulisannya di Saul, Willem, selalu berdecak kagum kepadanya. Setiap kali Apri memberikan tip kepada pelayan. Hal itu baru dia sadari ketika sudah menikah bersama Kae.
Dalam satu kunjungan ke Eropa, Apri bisa menghabiskan ratusan euro hanya untuk memberikan tip ke pelayan saja. “Banyak banget kan? Temennya aja sampai heran (Willem, Red), kenapa dia ngasih sebegitu banyak,” ungkap ibunda Aranka Kayana tersebut.
Saat ke Eropa, mereka biasa mengajak Aranka. Putranya itu kini jadi prioritas hidupnya. Tentang karyanya yang belum banyak dikenal pembaca Indonesia, Apri tak mengeluh. Dia melihatnya itu sebagai perbedaan selera yang harus dihormati. (jpc/riz)