Pintu masjid itu tertutup rapat. Begitu pula dengan rumah-rumah penduduk dan warung-warung di sekitarnya. Puluhan kera yang berkeliaran di halaman masjid pada Selasa pagi lalu (12/11) itu jadi alasan.

BAYU PUTRA, Banyumas, Jawa Pos

”Kalau pintunya nggak ditutup rapat, mereka bisa membukanya,” ujar Erni, perempuan paro baya yang sehari-hari bertugas membersihkan masjid.

Tapi, buang jauh-jauh anggapan bahwa warga Desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah, tempat masjid itu berada, membenci hewan primata tersebut. Sama sekali tidak.

Tak pernah mereka mengasari para kera itu. Mereka sudah terbiasa hidup berdampingan dengan kawanan yang datang dari perbukitan yang mengelilingi Cikakak tersebut.

”Kami menutup pintu (masjid) hanya karena khawatir kera-kera itu masuk dan buang air di sana,” kata Erni.

Masjid itu punya jejak panjang meski tak ada catatan sejarah yang pasti. Diperkirakan berdiri pada awal Kesultanan Demak di sekitar abad ke-15. Atau ketika Majapahit, kerajaan besar yang sebelumnya menaungi Demak, masih eksis.

Pada 1976 masjid tersebut direnovasi dan diberi nama Baitussalam. Saat itu renovasi tampak tidak memperhatikan keaslian masjid. Beberapa ornamen hilang. Hanya, bekas-bekas fondasi tetap masih ada.

”Kemudian (dinamai, Red) Saka Tunggal sebagai situs cagar budaya pada 1989,” tutur Sulam, juru kunci masjid.

Kini masjid Cikakak itu jadi jujukan wisata religi. Terutama ramai dikunjungi pada akhir pekan. ”Biasanya para pengunjung datang berombongan,” kata Sulam.

Semua yang datang tentu saja harus siap berbagi tempat dengan kawanan kera. Para pengurus masjid sengaja membiarkan demikian untuk mempertahankan koeksistensi damai yang sudah terjalin puluhan hingga ratusan tahun.

”Lebih tepatnya menghargai mereka,” ujar Sulam.

Meski memang tak jarang mereka harus kerepotan. Apa pun makanan yang ada di rumah warga akan diambil. Itu pula alasan mengapa di kawasan sekitar masjid tidak terlihat pohon buah. Karena dapat dipastikan buahnya tidak akan bisa dipanen. Keduluan kera.

Erni yang menjaga warung sang kakak tak jauh dari masjid juga harus berjibaku untuk memastikan dagangan tak dicolong para munyuk. ”Itu pun kadang masih kecolongan. Mereka masuk lewat celah di langit-langit,” kata dia seraya menunjuk bagian atas warung.

Warga setempat yang umumnya petani juga mengalah dengan memilih bertani agak jauh dari desa. Agar tak sampai harus berkonfrontasi dengan para munyuk. Kalau masih diganggu, mereka kembali memilih memindahkan lahan lebih jauh lagi.

Kalaupun harus menghalau, warga setempat punya ”kearifan lokal” tanpa harus menyakiti: dengan ban bekas. ”Pada takut sama ban karena pernah ada yang ditabrak mobil,” lanjut Erni.

Erni biasa meletakkan ban bekas di atas motor pengunjung yang terparkir di halaman masjid. Agar para kera tidak mendekati kendaraan itu. Juga, melingkari pohon agar tidak dipanjat.

Toh, sejauh ini belum pernah terdengar ada yang batal atau malas datang ke situs cagar budaya itu karena adanya kera. Sejumlah wisatawan asing pun beberapa kali sempat singgah meski memang umumnya mereka ke sana karena ada urusan dengan warga setempat.

Dampak koeksistensi damai dengan para kera itu, warga pun berjualan kacang dan jagung kepada pengunjung masjid yang ingin memberi makan. Kebetulan, para kera Cikakak pada umumnya jinak.

Hewan-hewan primata itu datang dari kawasan perbukitan yang berada di sekeliling desa. Bila sedang tidak ada makanan di bukit, mereka turun ke kampung. Masjid Cikakak menjadi salah satu tempat bermain karena di sana tersedia air.

Pada Selasa pagi lalu itu beberapa kera tampak memanjat ke penampungan air wudu setinggi dada orang dewasa yang memang didesain terbuka. Kera-kera tersebut minum sepuasnya melepas dahaga. Di bawahnya ada tiga keran untuk berwudu para jamaah.

Masjid Cikakak berukuran 12 x 15 meter dan mampu menampung sekitar 200 jamaah. Pendirinya Mbah Toli. ”Secara darah, saya generasi ke-12,” tuturnya.

Dari cerita lisan warga setempat, Mbah Toli diperkirakan pernah datang ke Majapahit untuk mengikuti sebuah kompetisi. Sangat mungkin, itulah penyebab tiang utama masjid Cikakak bercorak Majapahit. Entah sengaja dibawa dari Majapahit atau Mbah Toli mempelajari lalu mengukirnya sendiri di Cikakak.

Ke depan Sulam berharap Pemkab Banyumas memiliki konsep yang lebih baik untuk menjadikan Masjid Saka Tunggal sebagai wisata cagar budaya religi. (jpc/riz)