RADAR JOGJA DIGITAL – Pameran temporer bertajuk Angkasa Raya, Ruang dan Waktu Membaca Langit tersaji di Museum Sonobudoyo eks Gedung KONI. Ratusan karya terpajang merupakan sebagian kecil dari koleksi Museum Sonobudoyo. Pameran kali ini mengangkat kompleksitas arkeo-astronomi masyarakat Hindu Budha yang berkembang berabad-abad silam.
Kepala Museum Sonobudoyo Setiawan Sahli menuturkan, sejatinya Nusantara memiliki sistem perbintangan sendiri. Hanya saja ilmu astronomi ini kurang terekspose maksimal. Padahal sistem astronomi kuno telah mengenal penanda-penanda alam, pawukon hingga petung.
“Wujudnya dalam arca dan kosmologi Buddha. Adapula beker zodiak, hingga manuskrip tentang pawukon, petung, dan pranata mangsa. Seluruhnya diterjemahkan menjadi beberapa produk kebudayaan tentang astronomi tradisional,” jelasnya, Selasa (10/12).
Koleksi yang dihadirkan dalam pameran temporer ini beragam. Salah satunya berupa piring zodiak yang terbuat dari perak. Piring zodiak ini merupakan salah satu karya dari siswa Kunstambachscool. Tercatat tahun pembuatan 1940.
Ditampilkan 12 visual pahatan perlambang zodiak pada sisi piring secara melingkar. Karya ini pula yang didigitalisasi dalam wujud video mapping. Menceritakan secara detail makna-makna zodiak yang terpahat.
“Pameran ini berlangsung hingga 10 Februari 2020. Astronomi tradisional ini merupakan narasi tentang kekayaan intelektual masyarakat nusantara jaman dulu. Tapi memang belum semuanya tahu, khususnya generasi saat ini,” ujarnya.
Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Kridhomardowo Kraton Jogjakarta Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro hadir mengapresiasi tajuk pameran. Menurutnya, pemilihan judul pameran mampu menarik generasi muda untuk berkunjung ke museum.
Dia sepakat bahwa museum harus mengikuti dinamika zaman. Khususnya untuk menarik pengunjung melihat koleksi. Tak sekadar penyajian barang kuno, baginya museum memiliki arti penting. Berupa rekam artefak pengetahuan dari masa ke masa.
“Judulnya sangat milenial sekali. Momentumnya juga sangat pas, akhir-akhir ini atensi kalangan milenial terhadap museum juga. Kalau dulu enggak dipaksa sama gurunya pergi ke museum ya enggak pernah ke museum. Beda dengan era sekarang,” katanya.
Peluang inilah yang harus dilihat para pengelola museum. Tak sekadar menyajikan koleksi secara pasif. Harus ada peran aktif mempromosikan beragam peninggalan bersejarah. Salah satunya berupa ide kreatif digitalisasi seni.
“Pasar sudah ada tinggal bagaimana museum-museum mengemas sajiannya supaya bisa dinikmati oleh mereka (generasi muda). Istilah tumbu nemu tutup, sudah klop tinggal diolah,” ujar suami GKR Hayu ini.
Kanjeng Noto, sapannya, juga tertarik akan konten pameran temporer. Berkali-kali dia bertanya detail koleksi museum. Apalagi karya yang menyajikan ilmu astrologi kuno. Menurutnya, kekayaan ini sudah selayaknya terekspose maksimal.
Saat melihat karya ini dia teringat saat masa mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Ilmu perbintangan dipelajari secara serius. Beracuan pada sebuah rasi bintang untuk melihat fenomena alam. Selain itu juga berkorelasi pada disiplin ilmu lainnya.
“Memprediksi musim, arah mata angin, kapan mulai masa tanam dan sebagainya. Faktanya walau dulu ada keterbatasan sarana dan prasarana tapi tak menghambat untuk belajar. Semangat para leluhur inilah yang harus ditiru dan dipelajari oleh kita sebagai penerusnya,” katanya. (dwi/tif)