RADAR JOGJA – Selasa Wage, waktu ketika Malioboro istirahat. Namun tidak demikian dengan para seniman Jogja. Selasa Wage menjadi moment mereka untuk unjuk gigi. Bertajuk Sambung Sambang Malioboro, sebanyak 122 pelukis berkarya on the spot di sepanjang Malioboro hingga Titik Nol Kilometer.

Penanggung jawab melukis on the spot Godod Sutejo menceritakan awal mula ide ini. Aksi ini berupa wujud penghargaan kepada sosok pelukis Hendro Purwoko. Sosok ini memasuki pensiun sebagai dosen seni rupa awal Oktober lalu.

”Kebetulan beliau juga akan pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Selasa malam (10/12). Total ada sekitar 122 pelukis yang ikut serta. Nggak hanya dari Jogjakarta, ada yang dari Jakarta, Surabaya, Banyuwangi, Malang dan daerah lainnya,” jelasnya ditemui di sela-sela aksi melukis bareng di Museum Sonobudoyo, Selasa (10/12).

Kegiatan turut menghidupkan kembali semangat melukis on the spot. Gaya melukis yang diinisiasi pelukis Affandi ini sudah jarang dilakoni. Para pelukis cenderung berkarya dalam ruang privasi. Baik itu studio atau dalam lingkup lingkungan yang terbatas.

Godod berharap, aksi bisa menjadi pengalaman berharga. Terutama para pelukis muda atau generasi baru. Tidak hanya srawung kepada sesama perupa. Dalam ranah yang lebih jauh turut srawung bersama lingkungan dan objek lukisannya.

”Secara khusus juga jadi ajang srawung yang menyenangkan. Saling menyapa melalui karya. Bisa jadi ajang diskusi juga, karena banyak seniman lintas daerah. Tahu bagaimana perkembangan seni di wilayah masing-masing,” katanya.

Pemandangan syahdu terlihat selama proses melukis berlangsung. Pagi hari para pelukis sudah memadati kawasan simpang empat Titik Nol Kilometer sisi selatan. Sesudah pengarahan seluruhnya menyebar di sepanjang spot melukis. Ada yang memilih depan Istana Kepresidenan Jogjakarta hingga depan Bank Indonesia.

Salah satu pelukis T. Kamajaya mengaku senang mengikuti srawung pelukis ini. Pria sepuh berusia 70 tahun terlihat menikmati ambience Titik Nol Kilometer. Panasnya terik matahari tak menghalangi semangatnya menorehkan kuas cat ke atas kanvas.

Pelukis yang identik dengan rambut, kumis dan jenggot putih ini menghadirkan karya unik. Berupa lampu ikonik penghias khas Jogjakarta. Merupakan simbol dari wujud dan wajah dari Jogjakarta. Peran Jogjakarta dalam mewarnai kancah dunia lukis  nasional.

”Kalau punokawan itu gambaran masyarakat bawah yang plural. Bisa menggambarkan apa saja, bisa juga tentang upaya mencintai seni,” katanya. (dwi/ila)