RADAR JOGJA – Psikolog Ega Asnatasia Maharani memandang perilaku aborsi dilakukan dalam kondisi sadar. Pelaku, menurutnya mengetahui faktor risiko tindakan tersebut. Hanya saja desakan dari orang terdekat dan lingkungan jauh lebih besar.
Desakan ini semakin kuat dengan adanya faktor internal. Berupa rasa malu, perasaan bingung hingga perasaan tertolak oleh lingkungan. Komposisi ini mampu membuat pelaku aborsi tidak bisa berpikir jernih.
“Dorongan dari luar itu termasuk pasangan di luar nikah yang enggan bertanggung jawab. Pasti pilihannya ya aborsi. Tapi tidak bisa sempit juga (cara pandangnya) mengatakan cinta buta adalah alasannya,” jelasnya, Jumat (31/1).
Ega menegaskan keputusan aborsi sifatnya mendesak. Pelaku atau sang calon ibu belum bisa berpikir secara matang. Alhasil mudah mengamini permintaan untuk menggugurkan calon bayi dalam kandungan.
“Apalagi jika yang menyarankan itu adalah pasangan atau orang terdekatnya. Mudah saja calon ibu ini ikut arus,” katanya.
Dampak aborsi sejatinya tak hanya fisik. Ega menuturkan psikis pelaku aborsi akan terguncang hebat. Perasaan bersalah akan timbul setelahnya. Hingga muncul rasa membenci tubuhnya sendiri, traumatis dan dampak psikis lainnya.
Ega mendorong agar pendidikan seksual benar-benar terlaksana. Sudah tidak jamannya lagi menganggap tabu penididikan seks pra nikah. Terlebih jika melihat dampak dan faktor risiko yang terjadi selama ini. Termasuk penyakit pasca aborsi.
“Belum lagi ruang untuk menjadi single mother itu kecil di Indonesia. Nah, kombinasi faktor-faktor ini yang mendorong perempuan mengambil shortcut aborsi meskipun resikonya mungkin sudah dipahami,” ujarnya. (dwi/tif)