RADAR JOGJA – Ketua Gugus Depan SMPN 1 Turi Riyanto mengakui kesalahannya. Pria berusia 58 tahun ini lalai dalam mengawasi anak asuh pramukanya. Bukannya menjaga dan mengawasi lapangan, warga Turi Sleman ini justru memilih bertahan di sekolah.

Kala itu Riyanto berdalih menunggu barang-barang milik para siswa. Selain itu juga mendata siswa yang akan dan selesai kegiatan pramuka. Padahal posisinya sebagai pembina bersertifikasi kursus mahir dasar (KMD) mewajibkan pengawasan di lapangan.

“Saya menggantikan piket dan tinggal di sekolah. Setiap anak-anak habis susur sungai harus ada pencatatan. Tidak terpikirkan sampai ada kejadian itu (tragedi susur sungai Sempor),” jelasnya ditemui di Lobi Mapolres Sleman, Selasa (25/2).

Kehadirannya kali ini bukan sebagai kakak pembina. Tak ada lagi seragam coklat sebagai identitasnya. Telah berganti menjadi seragam orange. Akibat kecerobohannya, Riyanto resmi menyandang status sebagai tersangka.
Pria yang kesehariannya menjabat guru seni budaya SMPN 1 Turi ini turut bercerita awal mula kejadian. Terkait pemilihan waktu dan lokasi merupakan wewenang dari tersangka Isfan Yoppy Andrian. Langkah ini merupakan prosedur dalam giat kepramukaan SMPN 1 Turi.

“Memang saat itu semuanya rasanya tak bisa mengucap apapun. Setelah dibariskan kak Yoppy, saya tak bicara apa-apa. Saya kurang senang memang, tapi karena seringnya sejak dulu seperti itu. Terus terang saya lokasinya tak tahu, saya merasa salah besar,” kata.

Sejatinya Riyanto sudah melakukan pengamatan awal. Berupa pandang visual tentang cuaca sebelum giat susur sungai. Pria paroh baya ini meyakini cuaca tetap bersahabat. Tidak terjadi hujan walau ada awan mendung.
“Waktu itu berangkat dari sekolah mendungnya tipis, sebelah timur yang tebal,” ujarnya.

Perkiraan Riyanto meleset jauh. Kenyataannya kegiatan susur sungai berakhir menjadi sebuah tragedi. Air kiriman dari hulu datang tak terduga. Ketinggan air sungai Sempor meningkat dua kali lipat. Dari yang awalnya satu meter menjadi dua meter.

Satu persatu peserta bubar. Awalnya hanya tiga orang siswa yang kembali ke sekolah lebih cepat. Alasannya ada acara di rumah. Selang waktu cukup lama mulai berdatangan duyunan siswa. Rata-rata mengalami syok hingga luka fisik.

“Saat waktunya belum hadir kok sudah ke sekolah diantar warga. Ada yang cedera sedikit di kaki,” katanya.

Penyesalan hanya bisa menyapa di ujung perjalanan. Riyanto tak bisa berbuat banyak atas kelalaiannya. Kini masa tuanya harus dihabiskan di sel tahanan. Padahal dua tahun lagi pria yang berstatus pegawai negeri sipil ini akan memasuki masa pensiun.

“Karena saya dituakan dan dua tahun lagi penisun jadi kebiasannya hanya di sekolah. Tapi saya tidak pernah meninggalkan sebelum semua anak pulang semua. Saya sangat menyesal,” katanya tertunduk. (dwi/tif)