RADAR JOGJA – Penerapan sistem belajar secara online dan work from home (WfH) oleh beberapa perkantoran membuat masyarakat akan menghabiskan banyak aktivitas di rumah. Ini penting dilakukan untuk menekan perkembangan penyebaran Covid-19. Meskipun demikian, keterbatasan aktivitas di rumah dapat menimbulkan kebosanan yang membuat anak menjadi rewel dan membuat orang tua emosional.
Dosen Fakultas Psikologi UGM Sutarimah Ampuni menjelaskan, hal tersebut akan berpengaruh pada munculnya kebiasaan yang kurang sehat. Seperti makan dan tidur yang tidak teratur serta penggunaan gadget secara berlebihan. Namun, jika keluarga mampu menyikapi keadaan dengan baik, pengaruh positif juga bisa ditimbulkan.
Setiap keluarga bisa memilih jenis aktivitas untuk dilakukan bersama selama masa belajar di rumah. Orang tua, terutama yang memiliki anak kecil, perlu memiliki kondisi fisik dan emosi yang prima untuk bisa mendampingi anak-anak. Karena jika anak-anak masih kecil tantangannya adalah melayani mereka baik secara fisik maupun verbal.
“Untuk itu, orang tua harus saling bekerja sama satu sama lain, dan mengajak anak yang lebih besar untuk membantu menjaga adiknya atau mengerjakan pekerjaan rumah,” ungkap Sutarimah kemarin (23/3).
Pekerjaan rumah yang bisa dilakukan dengan melibatkan anak-anak, adalah mulai dari membereskan mainan, belajar makan sendiri, sampai dengan mengajarkan keterampilan baru kepada anak. Selain itu, orang tua juga menetapkan jadwal untuk belajar, istirahat, makan, dan sebisa mungkin menepatinya, meskipun tetap ada fleksibilitas. Hal ini bertujuan agar anak tidak kehilangan struktur selama masa belajar di rumah, serta terbiasa dengan rutinitas yang sehat.
Sedangkan untuk membuat anak tidak bosan, Sutarimah menyarankan, hendaknya orang tua menyediakan bahan-bahan atau material yang tidak harus dibeli. Seperti botol dan tutup botol, kertas dan dus bekas, atau benda-benda tak terpakai lainnya yang ada di rumah.
“Bisa dengan aktivitas fisik bersama misalnya senam atau menari juga bagus dilakukan, karena di samping fun juga sekalian untuk olahraga,” tambah Sutarimah.
Sementara untuk anak anak-anak sudah remaja atau mendekati dewasa, tantangan fisik mungkin sudah tidak ada. Namun, anak remaja cenderung lebih sulit diatur, dan konflik orangtua-anak mungkin timbul karena anak tidak mengikuti rutinitas yang seharusnya. Seperti tidur larut malam karena main games, tidak tertib dalam ibadah dan makan, atau anak tidak mau belajar dan hanya menghabiskan waktunya untuk main gadget dan tidak mau terlibat dengan kegiatan di rumah.
Masalah ini, menjadi tidak sederhana jika konflik berlangsung intens. Sehingga dikhawatirkan, anak mungkin saja memilih pergi dari rumah dan berkumpul dengan teman-temannya, yang justru mendatangkan masalah baru.
Tipsnya, orang tua perlu menjalin komunikasi, mendengarkan, dan mengajak anak untuk berbicara. Serta meminta pengertian dan kerjasama anak, dan memberi penguatan saat anak menunjukkan perilaku yang positif. “Sebisa mungkin hindari komunikasi yang sifatnya mencereweti, ajak anak untuk berdialog dua arah,” jelasnya.
Selain meluangkan waktu untuk bermain, anak usia remaja juga bisa dilibatkan dalam pembagian tugas keluarga. Serta selalu melakukan dialog dengan anak terkait situasi terkini dengan bahasa, dan konten yang sesuai dengan usia anak. “Jika keluarga dapat mengelola kondisi dengan baik, dapat mendatangkan pengaruh positif dan kesehatan mental akan terjaga,” ungkapnya. (eno/din)