Bahasa Kopi, nama kedai ini berlokasi di Jalan STM Pembangunan, Gang Gatotkaca, Pringgodani, Mrican. Dan siapa sangka pemiliknya, Gilbert Dwi Sandy, masih muda belia, 22 tahun.

Bahasa Kopi sudah eksis sejak satu setahun lalu. “Aku jatuh cinta dengan kopi sekitar tiga tahun lalu. Kemudian mendalami kopi dari hulu ke hilir. Kecintaanku muncul justru ketika berkenalan dengan segala prosesnya. Mulai penanaman, panen, distribusi, hingga penjualan,” cerita pemuda kelahiran Kupang , 29 Januari 1995, ini.

Gilbert merajut mimpinya mulai dari nol. Sejak perkenalannya dengan kopi, ia lalu berusaha mengumpulkan modal dengan bekerja. Menginjak usia 21 tahun, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana (UMB) Jogjakarta ini sudah ingin buka bisnis sendiri.

“Ya, semua berawal dari mimpi. Waktu itu aku iseng aja jalan ke sini dan lihat rumah ini dikontrakin. Dari situ setiap lewat aku sering sugesti diri bahwa suatu saat aku bakal bikin usaha kopi di sini. Akhirnya November 2016, Bahasa Kopi bisa berdiri,” ungkapnya.

Menurutnya, menjadi pengusaha kopi berarti juga harus bisa memberikan kontribusi untuk para petani. Hal itulah yang sedang dilakukannya saat ini di Desa Colol Raya, Manggarai Timur, NTT.

“April nanti saya dan beberapa teman bikin taman bacaan di sana. Ide ini muncul karena saya ingin membantu pendidikan di sana. Nggak harus dengan buku-buku pelajaran konvensional. Tapi kita bisa memberikan akses informasi dan ilmu pengetahuan pada generasi penerus dengan buku dongeng dan cerita rakyat,” tutur Gilbert.

Upaya ini, lanjutnya, harus dilakukan agar para generasi penerus pertanian kopi di kampung asalnya tidak berada pada situasi ekonomi sosial seperti saat ini. Menurut hasil observasinya, banyak petani masih hidup miskin karena tidak memahami dengan baik cara mengelola tanaman kopi.

“Mereka kasihan, karena kurang bisa mengelola. Banyak pengusaha beli dengan harga murah. Padahal di kota dibanderol dengan harga mahal. Ini kan timpang,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Gilbert, pola pikir ini harus diubah dengan mengajari generasi di bawahnya supaya melek informasi, punya banyak ilmu, dan berimbas pada cara mereka mengolah kopi untuk kesejahteraan hidupnya.

Soal pengunjung bisa belajar bahasa asing dengan gratis, Gilbert menjelaskan di kedainya memang memiliki kelas bahasa untuk siapa pun yang ingin belajar bahasa asing. Ada Prancis, Arab, dan Spanyol.

“Konsep ini justru aku dapet ketika kedai sudah jalan. Inspirasinya muncul dari customer bule yang sering minum kopi di sini. Mereka bilang senang saja berbagi tanpa mau dibayar. Jadi, biasanya kelas bahasa dibuka setelah kedai tutup, ya di atas jam 18.00,” tuturnya.

Gilbert selalu merasa bahwa mimpinya tentang kopi perlahan satu per satu menjadi kenyataan. Dia punya makna bahwa kopi adalah media pertemanan. Satu cangkirnya bisa mempertemukanmu dengan siapa saja, dalam obrolan apa saja. (laz/mg1)