BUTUH KEPASTIAN: Beberapa warga keturunan Tionghoa menyaksikan sidang gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh gubernur dan Kanwil BPN DIJ atas pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah DIJ No. K 898/I/A/1975. (SETIAKY A. KUSUMA/RADAR JOGJA)

JOGJA – Upaya warga Tionghoa memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas tanah di DIJ kembali menemui jalan buntu. Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan tergugat gubernur DIJ dan kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIJ ditolak majalis hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jogja yang digelar Selasa (20/2). Adapun gugatan tersebut diajukan Handoko, warga Jalan Taman Siswa, Kota Jogja, atas pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah DIJ No. K 898/I/A/1975. Instruksi kepala daerah yang diteken Wagub DIJ Paku Alam VIII tersebut dinilai menyalahi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berakibat warga keturunan Tionghoa tidak bisa memiliki tanah SHM di DIJ. Instruksi kepala daerah DIJ yang diterbitkan 5 Maret 1975 itu berisi tentang penyeragaman policy pemberian hak atas tanah kepada seorang warga negara Indonesia (WNI) non pribumi.

“Menolak gugatan penggugat dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 407 ribu,” ucap Ketua Majelis Hakim Cokro Hendro Mukti.

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, maka Instruksi Kepala Daerah DIJ No. K 898/I/A/1975 otomatis masih tetap berlaku.

Dalam putusannya, majelis menyatakan, instruksi tersebut memang bukan produk perundang-undangan. Regulasi tersebut berlaku pasca terbitnya Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Kendati demikian, menurut majelis, dalam teori ketatanegaran, instruksi diperlukan sebagai peraturan kebijakan. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan majelis.

“Peraturan kebijakan dibacakan sebagai suatu peraturan umum tentang kewenangan pemerintahan terhadap warga negara, yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintah yang berwenang,” paparnya.

Karena peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan, majelis berpandangan, instruksi kepala daerah tidak dapat dibatasi maupun diuji menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. “Karena memang tidak ada produk undang-undang yang dipakai sebagai dasar pembuatannya,” jelas Cokro.

Pengujian terhadap peraturan kebijakan dapat dilakukan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Karena dari segi pembentukkannya, peraturan kebijakan bersumber dari fungsi eksekutif.

“Pelanggaran terhadap AAUPB tidak dapat dijeratkan sanksi hukum,”tegasnya.

Atas pertimbangan tersebut gugatan terhadap para tergugat tidak dapat diuji oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana yang didalilkan penggugat. Sebagaimana dalil gugatan yang menyatakan Instruksi Kepala Daerah 898/1975 bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 26/1998 serta Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

Pertimbangan lainnya, UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIJ memberikan keistimewaan bagi Provinsi DIJ sehingga berbeda dengan daerah lain.

Keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki DIJ, jelasnya, sudah diatur dalam perundang-undangan. Kewenangan keistimewan tersebut, ada pada cara pengisian kedudukan, tugas, kewenangan gubernur dan wakil gubernur. Termasuk kelembagaan Pemerintah DIJ, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.

“Maka dalil yang digunakan oleh penggugat tidak terbukti,” kata Cokro.

Berdasarkan fakta persidangan, majelis tidak menemukan pertentangan atas pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah 898/1975 dengan AAUPB. “Karena bertujuan melindungi masyarakat ekonomi lemah dan keistimewaan DIJ yang secara tegas mengatur pertanahan dan kebudayaan khususnya Kasultanan Ngayogyakarta,” tandasnya.

Terpisah, Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Layanan Hukum Setprov DIJ Adi Bayu Kristanto mengaku lega atas putusan mejelis hakim. “Sudah jelas apa yang dituntut tidak terbukti. Kami siap bila penggugat melakukan banding,” ujarnya.

Sementara itu, Sekprov DIJ Gatot Saptadi menilai, gugatan yang diajukan Handoko sebagai dinamika hukum yang ada di Indonesia.”Bila putusannya ditolak dan adanya banding, tentu semua harus menghormati,” katanya di Kepatihan kemarin sore.

Gatot menegaskan, pemprov menggunakan kebijakan Instruksi Kepala Daerah 898/1975 bukan semata-mata membatasi warga keturunan Tionghoa. Namun, lebih sebagai bentuk perlindungan terhadap rakyat kecil dari dominasi para pemilik modal besar. “Jika para kapitalis tidak dikendalikan, nasib rakyat kecil tersisih,” tuturnya.

Instruksi tersebut, lanjut Gatot, sekaligus sebagai pengendalian investasi. Sebab, Jogjakarta menjadi salah satu kawasan potensial untuk berinvestasi. Jika investasi tak terkendali, dikhawatirkan akan merusak pembangunan DIJ ke depan.

Gatot mencontohkan investasi perhotelan. Pemprov cukup dibuat pusing dalam pengendaliannya. Apalagi dalam investasi hotel terjadi peralihan lahan yang cukup masif. (bhn/yog/mg1)