Di lereng sebelah selatan Gunung Merapi terdapat tiga jenis bentukan sungai. Pertama, sungai yang terbentuk karena proses erupsi (aliran Kali Boyong-Kali Code dan airan Kali Gendol-Kali Opak). Kedua, sungai yang terbentuk oleh mata air (Kali Winongo dan Kali Bedog. Ketiga, campuran antara proses erupsi dan aliran mata air (Kali Kuning).

Proses erupsi dan gerusan banjir lumpur vulkanik atau sering disebut lahar dingin, membentuk jurang yang sangat dalam. Gerakan aliran lumpur vulkanik dengan berat jenis yang lebih besar dari batuan mampu mengangkat dan memindahkan batu besar dan kecil ke kawasan yang lebih rendah.

Oleh karena itu, ciri sungai yang terbentuk oleh erupsi adalah banyaknya batuan vulkanik yang mengalir sampai kawasan perhentian aliran magma saat erupsi. Prof Buchori yang merupakan arkeolog, dalam laporan penelitian untuk Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia/LIPI (1972), menjelaskan erupsi pada tahun 927 Masehi melimpas kawasan Kali Putih sepanjang 22 kilometer dari puncak Merapi. Peristiwaitu mendorong Mpu Sindhok memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno ke lereng Gunung Penanggungan.

Hampir semua sungai yang sumber mata airnya dari sebelah barat daya Merapi relatif lebih dangkal dibanding dengan sungai yang mengalir ke sebelah barat dan selatan/tenggara Gunung Merapi. Pada saat erupsi di kawasan barat daya Merapi tak teraliri magma dan lumpur vulkanik saat erupsi. Energi mata air dan aliran air hujan tak mampu membentuk jurang sehingga tebingnya relatip tidak dalam.

Ciri lainnya sungai yang dibentuk oleh mata air adalah debit air yang relatif cukup besar di musim kemarau. Vegetasi yang tumbuh bagus di kawasan lereng barat daya Merapi seolah menjadi penjamin sumber mata air yang sangat besar di bawahnya (sampai saat ini ratusan mata air tetap hidup).

Sebagai salah satu sungai yang terbentuk oleh proses erupsi, Lembah Code di awal abad 18 (sebelum Keraton Jogjakarta didirikan), dipenuhi batuan vulkanik. Lebar Lembah Code di abad 18 sekitar 200 hingga 300 meter yang kalau berdiri di Jalan Jenderal Sudirman membentang dari pertigaan Jl C Simanjuntak sampai batas pagar timur Hotel Santika.

Batuan yang demikian banyak (sebagai tanda-tanda alam), telah habis menjadi pondasi bangunan di Kota Jogjakarta. Termasuk pondasi beteng Keraton Jogjakarta. Kali Code adalah sungai yang miskin mata air (di musim kemarau debit airnya sangat kecil), sehingga memerlukan suplisi 1 kubik air per detik dari Selokan Mataram. Suplisi air dari Kali Progo ini sangat diperlukan bagi warga kota untuk menjaga aerasi tanah di wilayah perkotaan.

Di antara dua tebing yang curam itu, aliran Kali Code berkelok-kelok membentuk mainder yang bisa berubah-ubah tergantung pola aliran banjir lumpur vulkanik. Di lembah ini pula, terdapat vegetasi yang tumbuh subur sehingga membentuk pemandangan yang indah dan memunculkan gagasan rumah hunian menghadap ke sungai (water front housing). Itulah sebabnya, rumah-rumah menghadap Kali Code (Kotabaru), sangat luas kavlingnya dan tentu lebih mahal.

Rumah yang menghadap Lembah Code selalu disertai teras guna menikmati pemandangan alam yang indah. Fasad rumah yang dibangun di zaman Kolonial itu dengan atap yang simpel model doro gepak, limasan, atau kampung dengan genting terakota, serta jendela dan pintu sangat lebar dengan ram yang indah.

Namun sayang, gambaran tata ruang kota yang sangat go green dan indah di jaman old itu telah lama hilang. Kolonel Gillespie, Komandan Tentara Inggris penyerbu Keraton Jogjakarta pada 22 Juni 1812 menyatakan, “Tidak menyangka bahwa di pedalaman Pulau Jawa itu terdapat istana dan kota yang tertata dengan baik dan sangat Indah.” Tamansari misalnya, pada saat itu berada di tengah danau seluas tujuh hectare yang sebenarnya merupakan istana air yang dibangun Sultan Hamengkubuwono I.

Keindahan Kota Jogjakarta itu sedikit demi sedikit melenyap ketika di era kemerdekaan muncul “pandangan” bahwa aliran sungai adalah pakiwan atau tempat membuang segala macam limbah kehidupan manusia. Kali Code pun turun gengsi, menjadi tempat membuang hajat, muara saluran air hujan, tempat buangan limbah cair, dan sempadan sungainya dibiarkan tak terurus sebagai pemukiman kumuh.

Di awal Orde Baru, hunian yang mewah menghadap sungai pun ikut turun gengsi karena pemerintah kota saat itu memutuskan tebing di sisi timur Kali Code (dari jembatan di Jl Sudirman sampai Kewek) sebagai lokasi pembuangan sampah kota. Penetapan tempat pembuangan sampah akhir tersebut juga bermaksud mengusir para pelacur jalanan yang banyak beroperasi di muka kantor RRI Jogjakarta agar mau pindah ke kompleks Sanggrahan. Keputusan wali kota saat itu, menyebabkan harga properti di Kotabaru jatuh dan menjadi rumah kumuh tak terpelihara.

Warga pemilik rumah di tepian Kali Coce pun semakin tak berdaya ketika pemerintah kota merelokasi kios bunga di Taman Garuda ke lokasi bekas pembuangan sampah. Dari rumah yang menghadap sungai itu, kini tidak ada lagi pemandangan yang indah. Tetapi, hanya melihat bangunan ruko dan keramaian perdagangan bunga yang tidak asri lagi.

Sering kali suatu keputusan resmi dalam sistem pemerintahan itu berakibat yang sangat panjang dan tentu tak disadari oleh pembuat keputusan. Keputusan yang dibuat hari ini mungkin akan terasa akibatnya dalam tempo 30 tahun yang akan datang.

Keputusan menutup jalur rel kereta api dari Stasiun Tugu ke Magelang di awal 1980-an (saat itu Jembatan Krasak terlanda banjir lumpur vulkanik) baru dirasakan pada tahun 2012 ketika muncul gagasan membangun kembali jalur kereta api Tugu-Magelang. Membangun kembali jalur rel kereta api yang sudah lama mati (besi bajanya pun sudah hilang entah ke mana?), bukan masalah gampang. Dan, tentu membutuhkan biaya yang sangat mahal. Akibatnya, kawasan di sekitar stasiun yang sudah mati itu menjadi lingkungan kumuh dan obsolensi.

Memang, keputusan pemerintahan (untuk semua level) itu bukanlah keputusan yang berorientasi jangka pendek dan instan karena keputusan jangka pendek itu opsinya para pedagang ataupun korporasi. Keputusan pemerintah (termasuk pemerintah daerah juga), haruslah berorientasi ke depan dalam jangka amat panjang, yang harus lebih fokus menjaga eksistensi negara, daerah, dan rakyatnya.

Jika hal itu tidak dipahami, keputusan pemerintah daerah pun berpotensi menciptakan obsolensi daerah itu sendiri. Kadang kala solusi yang dianggap benar hari ini, sebetulnya merusak keputusan strategis masa lalu. Bahkan, membunuh potensi masa depan daerah itu sendiri. Munculnya kampung kruwek di Lembah Kali Code hari ini adalah harga yang mahal dari suatu kebijakan strategis di masa lalu. Tetapi, tak pernah terpikirkan dan terselesaikan oleh sistem pemerintahan lokal baik di zaman Orde Baru maupun jaman now. (*/amd/mg1)