Oleh: Ibnu Subiyanto Bupati Sleman 2000-2010

Rupanya tak gampang menjelaskan ke semua pihak bahwa suatu pemerintahan di daerah pun butuh bangunan yang bagus. Bahkan, jika perlu mempunyai nilai seni arsitektural yang tinggi. Tidak semua orang itu bisa memahami bahwa gedung yang dirancang dengan bagus, indah, dan fungsional itu akan berdampak kepada perubahan perilaku manusianya.

Setiap orang akan merasa risih membuang apa saja di sembarang tempat ketika berjalan-jalan di Ambarrukmo Plaza, apalagi meludah di lantai yang selalu bersih dan tersedia kotak sampah. Semua orang akan terbawa untuk berperilaku baik dan menjaga sopan-santun manakala jalan di taman atau trotoar yang bersih dan rapi. Apalagi, di dalam gedungnya.

Meski sebuah gedung itu hanya sebuah properti yang diciptakan untuk melayani manusia, bagunan itu bisa “menjadi hidup dan punya wibawa” yang akan mendorong manusia berperilaku tertentu. Kantor kecamatan di seluruh pelosok negeri yang diseragamkan misalnya, membawa perilaku kepatuhan yang tinggi pada pemerintah atasan, meski akibat buruknya pun banyak. Unsur pelayanan pada masyarakat menjadi berkurang karena kantor camat lebih melayani para pejabat atasan. Birokrat di tingkat kecamatan merasa sudah bekerja keras bila memberi layanan yang baik pada pejabat atasan daripada melayani masyarakat.

Jika seorang kepala daerah ingin memberikan pengabdian terbaik pada rakyat dengan pelayanan prima, bukan berarti hanya perbaikan aparaturnya saja. Tetapi, harus pula meliputi aspek yang lebih luas dan kompleks. Meningkatkan kinerja pegawai negeri tak cukup dengan santiaji, apel pagi, agenda kerja yang runtut, sampai perbaikan gaji. Peningkatan kerja menyangkut dimensi yang jauh lebih luas dari membangun semangat kerja dan kebanggaan pada institusi tempat bekerja sampai pada keyakinan terhadap nilai-nilai utama dalam bekerja (cores values). Artinya, banyak ilmu pengetahuan yang dibutuhkan (psikologi arsitektur, dan lain-lain) untuk membangun sebuah misi bernegara meski hanya sebuah unit pemerintahan selevel daerah.

Jika semua aspek “kepentingan” dan ilmu pengetahuan tersebut dimanfaatkan untuk membentuk visi pelayanan bagi kepentingan rakyat maka harus disatupadukan dalam konteks sistem, yang secara keseluruhan haruslah berada dalam satu bangunan yang utuh. Di sinilah pentingnya arsitektur yang punya peran yang sangat penting untuk mengintegrasikan semua aspek perilaku dalam sebuah bangunan, bukan saja aspek fungsionalnya belaka tetapi nilai filosofis core values sampai ke detail perilaku harus ditampung dalam sebuah bangunan. Para arsitek bukan saja dituntut mencurahkan ilmunya tetapi harus pula berkreasi untuk menghasilkan bangunan sebagai suatu karya seni yang monumental.

Namun, kehendak luhur untuk membangun sistem birokrasi itu tidak mudah. Tantangan dari kalangan internal maupun eksternal pemerintah daerah pun sangat banyak. Para birokrat dalam kondisi ketakutan untuk membangun sebuah gedung yang bagus. Itu bukan karena tidak suka. Tetapi, pengadaan barang dan jasa pemerintah itu sangat rumit dan berisiko tinggi. Banyak permainan dalam proses lelang dan pembangunan gedung-gedung pemerintah. Sedikit saja keliru, para biroktat bakal punya urusan panjang.

Semua orang cenderung mencari kenyamanan diri sendiri dan tak ingin berubah kalau lingkungan kerjanya telah menciptakan rasa nyaman dan aman. Mereka tak akan mudah diajak berubah meski di depannya banyak ancaman dan pura-pura tidak tahu ada ancaman. Bagi PNS pun tak akan pernah berpikir punya gedung yang bagus dan bermartabat, yang penting mereka kerja dan tiap bulan gajian.

Tahun 2002, Sleman mulai membangun beberapa unit gedung-gedung baru untuk dinas yang dipandang sangat strategis saat itu. Keterbatasan lahan di kompleks Perkantoran Beran (bekas pabrik gula) mengharuskan dibangun secara vertikal. Ini mengingat kebutuhan luas lantai untuk para pegawai dan untuk kepentingan pelayanan butuh ruang yang lebih luas. Para arsitek perancang bangunan wajib memperhatikan term of reference yang disusun dengan karakter bangunan sebagai berikut.

Pertama, setiap lantai harus menghilangkan penggunaan partisi bagi pejabat eselon 3 dan 4. Partisi diganti dengan sisem modular sehingga semua ruangan terasa luas dan bisa dilihat manusianya yang bekerja di kantor tersebut. Kedua, eksterior setiap bangunan harus menampakkan fasad arsitektur modern yang akrab dengan warga masyarakatnya. Meski, nilai arsitekturalnya tidak terlihat wah tapi sangat fungsional.

Ketiga, semua bangunan menempatkan ruang fasilitas layanan dibagian muka dan mudah di akses oleh siapa saja. Oleh karena itu, ruangan layanan harus luas, bersih, rapih, dan urinoir pun harus selalu harum. Keempat, asas fungsional ini menjadi sangat penting karena gedung pemerintah daerah harus memberikan tekanan pada fungsi pelayanan dan di samping itu agar fungsi pemerintahan berjalan dengan lebih baik. Kelima, bentuk bangunan harus menyesuaikan dengan kontur tanah dan kingkungan alam yang ada di lokasi bangunan.

Setelah kantor baru itu beroperasi, banyak mendapat kunjungan dari daerah lain dan mereka pada umumnya bertanya. Kenapa suatu bangunan pemerintah kok dirancang sama (bahkan lebih bagus) dengan kantor bisnis perusahaan swasta? Lho, memangnya kantor-kantor pemerintah itu harus kumuh dan dibangun ala kadarnya? Begitulah sanggahan saya dan semua tamu-tamu itu sepakat bahwa kantor pemerintahan di daerah pun harus bergengsi dan boleh lebih baik dari pada kantor perusahaan swasta.

Semakin banyak pemerintah daerah yang berkunjung ke Sleman dan manggut-manggut, lalu berbisi-bisik: “Kami akan bangun gedung yang lebih bagus dari perkantoran Sleman.” Itu sudah cukup membanggakan. Paling tidak, membentuk virus pemerintahan daerah yang baik tersebar ke mana-mana. Berlomba untuk membangun kompleks perkantoran yang bagus dan indah di banyak daerah lain.

Di situlah terbukti bahwa arsitektur bangunan mempengaruhi dan mengubah perilaku manusia karena bangunan dirancang bukan semata untuk kepentingan sang arsitek dan pemilik proyek. Tetapi, ada begitu banyak variabel human behavior yang dipertimbangkan dan dikemas dalam sebuah bangunan.

Rupanya, membangun sebuah bangunan di zaman reformasi itu tidak gampang sehinggga jarang kita melihat suatu karya yang mengandung nilai arsitektural yang tinggi sebagai karya seni. Kita lebih banyak menyaksikan bangunan yang lebih mementingkan fungsi tapi kering dan “tak bernyawa”. Mudah-mudahan ini semua bukan matinya seni arsitektur negeri ini, yang di zaman dahulu bangsa ini mempunyai banyak arsitek yang mumpuni. (*/amd/mg1)