JOGJA – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih cukup mendominasi persoalan sosial di Kota Jogja. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMP2A) Kota Jogja mencatat selama 2013-2017 terjadi 209 kasus KDRT yang sebagian besar korbannya adalah perempuan. Angka tersebut bisa jadi lebih banyak. Sebab, masih banyak indikasi korban KDRT tak berani melaporkan peristiwa yang dialami kepada aparat hukum. “Korban seharusnya berani lapor ke polisi atau rumah sakit,” tutur Kepala DPMP2A Kota Jogja Octo Noor Arafat Rabu (8/8).
Pelaporan itu berupa segala bentuk kekerasan. Baik fisik, psikis, seksual, penelantaran, hingga eksploitasi. Perkataan, sikap, serta ancaman dari seseorang dalam rumah tangga masuk kategori kekerasan psikis, yang bisa membuat korban menderita.
Octo mengatakan, tingginya kasus KDRT akibat masih kentalnya budaya patriarki. Di mana kedudukan laki-laki dalam rumah tangga dianggap selalu lebih tinggi daripada perempuan. Serta faktor lemahnya fisik perempuan, sehingga menjadi sasaran kekerasan.
Selain itu faktor ekonomi. Ketika kebutuhan pokok rumah tangga tak tercukupi. “Ketika kondisi ekonomi lemah, kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi,” jelasnya. Menurut Octo, faktor keturunan juga bisa menjadi penyebab KDRT. “Anak yang dulu melihat orang tuanya melakukan kekerasan, sangat mungkin akan bertindak hal yang sama ketika sudah berkeluarga,” ucapnya.
Kasubbag TU Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPTP2A) Kota Jogja Dwi Asanti menambahkan, setiap aduan korban KDRT akan ditindaklanjuti dengan pendampingan oleh petugas. Mulai psikologis, medis, hingga proses hukumnya. (cr5/yog/mg1)