BANTUL – Bagi sebagian orang tua pasti pernah waswas lantaran buah hatinya mengalami panas tinggi setelah diimunisasi. Ternyata, itu adalah kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI). Bukan efek samping imunisasi. Biasanya, balita mengalami panas setelah disuntik vaksin DPT (difteri, pertusis, dan tetanus). Meningkatnya suhu tubuh balita ini tak perlu dikhawatirkan.
Menurut Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul dr Abednego Dani Nugroho, meningkatnya suhu tubuh menunjukkan adanya reaksi bahwa vaksin bekerja. Yakni, adanya perlawanan antibodi terhadap vaksin. Nah, komponen vaksin yang memicu panas biasanya adalah pertusis.
“Panas ini sudah diperhitungkan dari dulu saat membuat vaksinnya. Sepuluh persen memang bisa panas,” jelas Abed, sapaannya di kantornya, Senin (27/8).
Bagi sebagian rumah sakit swasta, ada yang menggunakan vaksin paten. Namanya DPaT (difteri, pertusis aseluler, dan tetanus). Vaksin ini diyakni mampu mengurangi panas setelah imunisasi. Kendati begitu, komponen aseluler dalam DPaT yang berfungsi meminimalisasi panas ini tak selamanya bekerja dengan baik. Sebagian balita tetap mengalami panas setelah diimunisasi.
Dari itu, Abed menyarankan orang tua hanya perlu mengetahui tata cara penanganan bila si buah hati panas. Caranya dengan memberi parasetamol.
“Tapi parasetamol diberikan saat anak panas. Bukan sebelum imunisasi,” ingatnya.
Imunisasi DPT adalah salah satu vaksinasi yang wajib diberikan kepada balita. Abed menegaskan bahwa setiap balita wajib diberikan lima imunisasi dasar lengkap. Pertama, HB (Hepatitis B). Imunisasi yang berfungsi untuk melindungi dari hepatitis B ini diberikan saat balita berusia kurang dari sebulan. Kedua, BCG (Bacille Calmette-Guerin). Imunisasi yang berfungsi untuk melindungi dari tuberkulosis ini diberikan saat balita maksimal berusia dua bulan.
“Karena imunisasi BCG sebenarnya bisa diberikan saat balita berusia nol hingga dua bulan,” lanjutnya.
Dua imunisasi berikutnya adalah DPT-HB-Hib dan IPV. Keduanya diberikan saat balita berusia dua bulan. Menurutnya, DPT-HB-Hib merupakan satu vaksin. Tapi, kandungannya berfungsi untuk mencegah lima penyakit sekaligus. Yakni, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemophilus influenza tipe B. Yang terakhir bisa menyebabkan pneumonia dan menengitis. Adapun IPV berfungsi untuk mencegah polio.
“Disuntik di bagian kanan dan kiri bayi,” ucapnya.
Kelima adalah campak. Vaksin ini diberikan saat balita berusia sembilan bulan. Namun, pemberian berbagai vaksin ini sebenarnya fleksibel. Itu mengacu Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam dua regulasi ini disebutkan imunisasi diberikan hingga anak maksimal berusia lima tahun. Kendati begitu, idealnya tetap diberikan balita berusia nol hingga sebelas bulan. Itu demi efektivitas sekaligus mencapai kekebalan optimal.
Nah, dalam rentang waktu dua hingga sembilan bulan ada imunisasi ulangan. Tepatnya saat berusia tiga bulan. Imunisasi yang diberikan adalah DPT-HB-Hib 2 dan IPV 2. Bulan berikutnya dua vaksin ini diulang lagi. Namanya DPT-HB-Hib 3 dan IPV 3.
“Untuk mencapai kekebalan optimal sehingga harus diulang-ulang,” tegasnya.
Capaian imunisasi lima dasar lengkap di DIJ, tak terkecuali di Kabupaten Bantul di atas target nasional. Di mana standar nasional di angka 80 persen. Di Bumi Projotamansari sendiri tahun lalu mencapai 92,5 persen. Dengan kata lain, seratus persen balita di Bantul telah mendapat imunisasi lima dasar.
Menurutnya, imunisasi lima dasar lengkap disorot World Organization Health (WHO). Standar yang diterepkan WHO adalah universal child immunization (UCI). Praktiknya, mayoritas balita di setiap desa di Indonesia harus mendapatkan lima imunisasi dasar ini. Itu merupakan standar aman agar penularan berbagai penyakit pada bayi dapat ditekan.
“Selama enam tahun terakhir capaian imunisasi dasar lengkap selalu di atas standar nasional,” tambahnya.
Baginya, capaian ini menggembirakan. Sebab, angka kematian balita akibat berbagai penyakit ini dapat diantisipasi.
“Karena kekebalan balita berbeda dengan orang dewasa, sehingga butuh imunisasi,” ingatnya. (**/zam/mg1)