Pantang Menyerah, Sibukkan Diri Membuat Kerajinan Berbahan Sampah

Hana Yulianingsih kaget ketika bagun tidur Sabtu, 2 Januari 2016. Bagian pundak kirinya terasa nyeri. Otot-ototnya kaku. Hawa dingin naik dari telapak kaki hingga tangan dan pundak. Selanjutnya, separo anggota tubuh lumpuh.

GUNAWAN, Gunungkidul

SAAT itu jarum jam belum menunjukkan pukul 05.00 waktu Taiwan. Seperti biasanya, Hana Yulianingsih bangun untuk menunaikan salat Subuh. Ketika akan beranjak dari tempat tidur, Hana merasakan ada yang beda dengan kondisi tubuhnya. Rasa nyeri di pundak cukup menyiksanya. Itu dirasakannya sejak pertama kali membuka mata. Awalnya Hana mengira rasa sakit itu akibat efek salah posisi tidur.

Dia lantas melakukan peregangan otot. Turun dari tempat tidur dan mulai melemaskan otot-otot yang terasa kaku. Aktivitas olahraga ringan tersebut dilakukan kurang lebih selama 10 menit. Hana sempat jalan-jalan di sekitar ruangan kamar.

Waktu itu seluruh anggota badannya masih bisa berfungsi normal. Bisa digerakkan meski terasa kaku, nyeri, dan sakit. Dia juga mulai merasa sesak pada bagian dada. Hana pun memutuskan kembali merebahkan diri di ranjang kamar tidur. Kegelisahan menggelayut dalam benaknya.

Setelah jam kemudian sang majikan, Mr Wang, mengetahui kondisi Hana yang sudah tidak berdaya. Lumpuh. “Apakah ajalku sudah dekat?. Ketika itu saya terus membaca kalimat syahadat,” kenang Hana saat Radar Jogja menyambangi kediamannya di Padukuhan Gedoro, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Kamis (30/8).

Seketika itu juga Hana lantas minta tolong kepada Mr Hang untuk menghubungi anggota keluarga di Indonesia. Anak ke-4 dari enam bersaudara tersebut selanjutnya dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan medis.
Hasil pemeriksaan medis menunjukkan, Hana mengalami pecah pembuluh darah. Seolah tidak percaya, anak pasangan Suwardiyono, 61, dan Sudiyem,60, harus nombok dari kantong pribadi untuk membayar biaya rumah sakit. Karena klaim asuransi tak memcukupi biaya perawatan rumah sakit.

Tak mau menderita sendiri di negeri orang, Hana memutuskan pulang kampung pada 24 Februari 2016. Kedatangannya di Tanah Air disambut keluarga di Jakarta. Dan diteruskan perjalanan ke kampung halaman. Tak kurang lima tahun Hana merantau sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan. Dia pernah sekali pulang ke Tanah Air. Lalu berangkat lagi ke Taiwan dan balik ke kampung halaman karena kelumpuhan yang dideritanya itu.

Lantas bagaimana suasana hatinya ketika pulang kampung dengan kondisi lumpuh? Menjawab pertanyaan Radar Jogja, lulusan SMPN 2 Patuk itu hanya tersenyum. Bisa menghirup udara segar Padukuhan Gedoro, serta berjumpa dengan keluarga dan tetangga merupakan atmosfer berbeda. “Saya terus menyemangati diri, ini (kelumpuhan, Red) sebentar lagi sembuh,” ujarnya.
Waktu terus berjalan. Hingga Ramadan 2018. Hana makin giat berdoa kepada Sang Khalik. Bertafakur kepada Tuhan, mengenai kendala fisik yang dialami dalam tiga tahun terakhir.
“Mulai awal Ramadan lalu saya berani menggunakan HP (handphone). Browsing mencari kata kunci, cedera tulang belakang. Hehehe, ternyata kemungkinan pulih sulit. Namun, saya optimistis harus sembuh,” katanya bersemangat.

Hana yang tinggal di wilayah pegunungan dengan kemiringan 90 derajat tersebut percaya dengan kekuatan doa. Terbukti, pelan tapi pasti gerak motorik tangan dan kakinya mulai berfungsi. Duduk di atas kursi roda, dia mulai menempa diri dengan membuat kerajinan dari bahan dasar sampah.
“Membuat tisu bekas plastik kopi, merakit botol bekas menjadi bunga hias, dan memanfaatkan kepompong ulat sutra untuk bros. Karya saya sudah terjual hingga Semarang, Jawa Tengah melalui online,” ungkapnya.

Di tengah kondisi tubuh yang serba terbatas, Hana tak mau dikasihani orang lain. Dia ingin diberi ruang dalam berkarya. Mengisi waktu luang, meski dari atas kursi roda. Spirit sembuh terus dibangunnya. Secara mental pun dia telah kuat menerima kenyataan.

TELATEN: Hana Yulianingsih menyelesaikan kerajinan bunga mawar.
(GUNAWAN/RADAR JOGJA)

“Dengan membuat kerajinan, motorik anggota badan terus terlatih. Perkembangan sudah jauh lebih baik. Harus semangat,” ujar gadis 29 tahun yang setiap pagi belajar jalan menggunakan alat bantu.
Kepada penyandang disabilitas yang lain, Hana berpesan agar jangan putus asa. Syaratnya, berserah diri kepada Tuhan dalam doa. Apa pun yang terjadi adalah takdir. Jangan minder dan terus-terusan mengeluh pada keadaan.
“Jangan lihat keadaan sebagai penghalang untuk berbahagia. Setia pada prosesnya dan tetap semangat,” ucapnya lirih.

Untuk menopang aktivitas sehari-hari, Hana tak sendirian. Selama ini dia dibantu saudara-saudaranya. Terutama Surtini, kakak kandungnya. Setiap hari Surtini terus menyemangati sang adik. “Kami terus berupaya agar Hana bisa sembuh. Kami juga mengupayakan agar dia memiliki kursi roda baru,” katanya. (yog/mg1)