SLEMAN – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengadakan Talk Show Kebangsaan dengan mengangkat tema “Siapa Takut Jadi Pemimpin?” di Ballroom Hotel UNY, Sabtu (22/9).
Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan penerimaan anggota baru yang dilakukan oleh GMNI UNY.
Selain menjadi rangkaian kegiatan penerimaan anggota baru, kegiatan tersebut juga sebagai salah satu sarana untuk menguatkan spirit nasionalisme di kalangan Mahasiswa. Pada kegiatan ini, pembicara yang di hadir adalah Rais As’ad Faiz yang merupakan kader aktif GMNI UNY, Aria Bima (Anggota DPR RI Komisi VI), dan dr Hasto Wardoyo S.P OG (Bupati Kulon Progo)
Mulai menurunnya spirit nasionalisme dikalangan mahasiswa membuat GMNI sadar betul, nasionalisme harus selalu di gelorakan agar mahasiswa memahami pentingnya nasionalisme. Selain itu mahasiswa sekarang, nantinya pada satu abad kemerdekaan Indonesia, akan menempati kepemimpin Indonesia.
GMNI UNY sebelum menggelar Talk Show Kebangsaan juga melakukan komunikasi dengan Rektor UNY, dan juga Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi UNY. Komunikasi dilakukan sebagai upaya untuk melihat kebutuhan mendasar di kampus pendidikan UNY, tentang penguatan kembali nasionalisme sebagai modal dasar seorang pemimpin.
Dalam talk show yang diikuti 300 peserta dari mahasiswa tersebut, Aria Bima, S.Sos menyampaikan bahwa seorang pemimpin harus selalu mengedepankan prinsip kemanusiaan. “Kemanusiaan yang melandasi semua bidang, termasuk ekonomi, politik, budaya,” katanya. Sehingga demokrasi yang mengakomodasi kemanusiaan adalah demokrasi musyawarah muwakat. Bukan demokrasi voting yang hanya meletakan manusia hanya sebatas angka.
“Dalam demokrasi musyawarah untuk mufakat, manusia dihitung sebagai manusia seutuhnya, didengar pendapatnya dicari solusi bersama,” lanju Aria Bima.
Selain itu Aria Bima juga menyampaikan bahwa seorang pemimpin harus punya narasi yang jelas dan mampu mengakomodasi semua kalangan.
“Jangan sampai kita punya pemimpin yang memiliki narasi yang rasis yang mengabaikan kelompok tertentu dan mengunggulkan kelompok lainnya,” katanya.
Narasi kebangsaan yang berkemanusiaan adalah narasi yang mutlak dimiliki pemimpin Indonesia. Tanpa hal tersebut, susah membangun Indonesia, lebih-lebih ke depan akan dihadapkan pada hari-hari yang penuh konflik. Tentu ini perlu diperhatikan masyarakat.
Selain hal diatas, Aria Bima memberi catatan untuk pemimpin Indonesia juga harus mengerti bahwa keadilan adalah hal yang utama. “Pengabaiaan atas keadilan tentu menjadi permasalahan yang akan terus berlarut-larut mengakibatkan ekses-ekses yang negative dan distruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara” katanya. Keadilan atas ekonomi adalah yang utama. Hal ini karena soal ekonomi adalah soal hidup dan mati. Sehingga, menurut Aria Bima, Jokowi menunjukan hal tersebut dengan pembangunan Indonesia yang merata. Terutama di luar jawa. Hal ini penting untuk menjaga narasi kebangsaan juga.
Kemudian Hasto Wardoyo menyampaikan bahwa pemimpin yang idela di era sekarang adalah pemimpin yang mengenali zamannya.
“Zaman ini adalah zaman disruption yang mana dipengaruhi teknologi,” kata Hasto.
Hal ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya. “Hari ini tekonologi menjadi alat dalam setiap sendi kehidupan, utamanya komunikasi,” ungkap Hasto. Sehingga kanal teknologi ini perlu diperhatikan untuk siapa saja yang menjadi pemimpin. Tanpa memahami perkebangan masyarakat seperti itu tentu cara memimpin akan tidak sesuai dengan yang dipimpinnya.
Jokowi adalah contoh pemimpin yang sadar betul akan perubahan zaman tersebut. Tak hanya sadar tetapi juga melaksanakan kepemimpinan yang sesuai zamannya. “Vlog Pak Jokowi itu kan sangat kekinian, ia dapat berkomunikasi dengan masyarakat dengan cara masyarakat berkomunikasi secara umum,” kata Hasto. Hal ini perlu diapresiasi. Hasto juga melihat dengan keadaan demografi hari ini, dimana jumlah pemuda yang lebuh banyak dengan kelompok umur lain. Maka, menurut Hasto, pemimpin harus bias menganalisa dan membaca apa mau dari setiap kelompok tersebut.
Tanpa bias menganalisis dan melakukan pembacaan tersebut tentu akan terjadi kendala dalam memimpin. “Sehingga kita perlu pemimpin yang bias bicara pada kelompok muda khususnya, umumnya semua kelompok,” kata Hasto. Hasto melihat Jokowi adalah pemimpin yang bias berdialog dan mengenal dengan baik kelompok muda tersebut, dengan beragam contoh yang sudah dilakukannya. Hal lain disampaikan Hasto adalah, perlu pemimpin yang memberi tauladan yang baik. Tidak hanya untuk menjaga kekuasaanya tetapi untuk mewarisakan tauladan tersebut pada generasi penerus kepemimpinanya.
Sementara menurut Rais Assad, mahasiswa harus sadar bahwa dirinya akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Modal dasar mahasiswa untuk menjadi pemimpin adalah dia harus berorganisasi. Organisasi yang bisa menjadi kawah candradimuka bagi dirinya, untuk mengembangkan kapasitas dan kecakapannya. Selain itu di dalam organisasi mahasiswa akan ditempa terus menerus untuk menjadikan dirinya seorang pemimpin di masa depan. “Salah satu organisasi yang harus diikuti adalah GMNI, karena sudah terbukti GMNI mampu melahirkan pemimpin bangsa,” tegasnya. (riz/ila)