Film yang saya tunggu-tunggu sejak gagal nonton penayangan galanya di JAFF 2017, akhirnya film ini tayang juga secara komersial di bioskop. Satu film karya Sekolah Vokasi UGM yang desas-desusnya bergenre fiksi ilmiah. Entah kapan terakhir saya menonton film bergenre langka di dunia perfilman Indonesia ini.
Pertama-tama,konteks yang perlu saya jelaskan di sini adalah ekspektasi saya terhadap film ini cukup melambung tinggi. Karena selain faktor kelangkaan genre itu tadi ya membaca komentar singkat tentang film ini di poster komersialnya. Sutradara Jokan (Joko Anwar) aja sampai bilang: “mindblowing ending.” Nggak keliru kan kalau saya ngarep sesuatu yang paling nggak sedikit menggoyang dari film ini.
Kisah film ini bermula dari penemuan sebuah tengkorak yang panjangnya berukuran sekitar 1,8 km pascagempa dahsyat Jogja 2006. Tengkorak raksasa itu membuat dunia akademik sekaligus agamawi otomatis bergolak-golak, mengingat temuan ekstrem seperti ini sangat berpotensi mengoyak-oyak pakem tentang asal-muasal manusia yang telah “dikitabkan”.
Di tengah situasi dinamis yang hangat diperdebatkan ini, ada friksi ide berupa pro-kontra atas keterbukaan akses riset terhadap tengkorak raksasa ini. Pemerintah, warga sipil, dan dunia menjadi trisula relasi politik penentu nasib tengkorak tersebut.
Atensi global ingin dilibatkan pula oleh film ini. Sungguh satu ambisi yang akbar. Film Hollywood saja jarang yang gagal meyakinkan penontonnya. Lantas, gimana dengan film produksi domestik yang beranggaran supercekak?
Bagiku, hasilnya tetap saja terprediksi: belum beruntung, coba lagi. Skala dunia ini diikhlaskan saja karena pada akhirnya dengan kita sadari film yang awalnya saya rasa cukup perlahan tapi pasti menguat ini tahu-tahu skala plotnya menyusut ke level mikro yang karakterisasi tokoh-tokohnya tak jernih. Akibatnya, mulai dari sini film terus terasa hilang arah dan kendali.
Untung saja di dalam perjalanan yang penuh dengan ketidakjelasan dan disorientasi itu film ini menyimpan mercon-mercon kecil (ya kadang leo, kadang rawit) hiburan. Mulai dari adegan dialog dramatis natural berdurasi panjang tak berjeda sampai dengan gaya nylekop koplak ala wong Jawa. Setidaknya, taburan-taburan ini membuat logika plot yang rasanya berantakan itu terasa ber-topping manis.
Secara teknis, terprediksi pula: alakadarnya. Saya tak ingin merendahkan film ini. Yang jelas, dengan keterbatasan yang ada apabila intensitas konflik terjaga kuat pastinya sangat bisa dimaklumi kekurangan aspek teknis macam yang terjadi di film Night Bus.
Di mataku, hasil akhir film ini belum tepat untuk ditayangkan di layar lebar. Walau begitu, saya sangat mengapresiasi keberanian sutradaranya. Kenekatannya cukup bisa dipertanggungjawabkan.
Hanya saja ukurannya tak sepadan. Lebar jurang antara ide besar dan infrastrukturnya terlampau menganga. Bagi saya, film ini baru sebatas maket visi sinematik sang sutradara. Semoga dalam proyek berikutnya anggaran lebih longgar. Di situlah kita bakal mengetahui magnitudo potensi visi sang strada yang sesungguhnya. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.