SLEMAN – Berdasarkan data Atlas Pengendalian Tembakau Edisi Ketiga 2016, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok tertinggi dimana jumlah perokok laki-laki mencapai 66 persen dan perokok perempuan 6,7 persen.

Untuk mengatasinya, telah banyak langkah dan upaya yang dilakukan mulai dari kampanye kesehatan hingga regulasi. Lebih lanjut, para peneliti juga telah mencari solusi alternatif yang dapat membantu mengatasi permasalahan rokok. Salah satunya melalui Roadshow diskusi publik yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar) bersama para peneliti terkait.

Kota Jogja menjadi kota tujuan roadshow terakhir, diselenggarakan di Sekip UC UGM. Kabar tak hanya membahas seputar permasalahan rokok dan dampak negatifnya pada kesehatan namun juga membahas tentang produk tembakau alternatif yang disinyalir bisa mengurangi kebiasaan merokok.

Ketua Kabar sekaligus Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia Amaliya mengatakan, produk tembakau alternatif menjadi salah satu solusi pilihan yang terus diteliti lebih lanjut guna mengetahui potensi yang dimiliki. Hasil penelitian dari berbagai negara, seperti Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar dan rokok elektrik memiliki potensi risiko pada kesehatan lebih rendah dibandingkan rokok.

”Banyak yang mengira kalau nikotin adalah kandungan yang paling berbahaya pada rokok, padahal sebenarnya yang paling berbahaya itu TAR. TAR dihasilkan dari proses pembakaran rokok yang dapat memicu berbagai penyakit berbahaya pada tubuh, bukan nikotin. Tapi yang mesti diketahui juga, nikotin ini juga tidak bebas risiko,” jelasnya dalam diskusi publik tersebut.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2013, DIJ masuk ke dalam 15 besar angka perokok tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 31,6 persen dengan Kota Jogja kedua tertinggi dalam provinsi yakni sebesar 26,2 persen.

Tingginya angka ini menurut Amaliya memerlukan sebuah solusi yang bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok secara perlahan. Dia mengatakan, dari penelitian yang telah dilakukan, didapati banyak fakta menarik di lapangan seputar perokok.

”Kami menemukan bahwa banyak perokok masih kesulitan untuk berhenti dari ketergantungannya. Di antara mereka juga telah banyak mencoba beragam metode berhenti merokok, seperti cold turkey, bantuan dengan permen, hingga terapi konseling. Namun, masih banyak yang belum berhasil. Ini memang membutuhkan solusi lain untuk membantu mereka (perokok) agar dapat berhenti secara perlahan,” paparnya.

Dalam upaya ini, Amaliya mencontohkan, Inggris sebagai negara maju yang memiliki masalah yang sama dengan Indonesia. Berdasarkan data Public Health England, badan kesehatan di bawah naungan Kementerian Kesehatan Inggris, pada pertengahan tahun 2017, Inggris berhasil mencatatkan penurunan angka perokok tertinggi yakni sebesar 20.000 orang dari jumlah perokok sekitar 15,5 persen di tahun 2016 akibat kontribusi produk tembakau alternatif.

”Metode harm reduction (pengurangan risiko) yang ada pada produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar dapat mengeliminasi TAR, sehingga risiko kesehatannya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, ada baiknya kita mempertimbangkan metode pengurangan risiko ini sebagai metode yang dapat membantu mengurangi angka perokok di Indonesia,” jelasnya lebih lanjut.

Dewan Penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Jawa Barat dan Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran Ardini Raksanagara menambahkan, pada dasarnya metode pengurangan risiko ini merupakan salah satu opsi peralihan konsumsi rokok ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risikonya.

”Dalam konteks keilmuan kesehatan masyarakat, metode ini telah banyak diterapkan, bukan hanya pada produk tembakau saja,” katanya. (ita/ila)