Kutipan
”Semua warga ingin mempunyai kota yang bukan saja nyaman dihuni, tetapi memberi penghidupan yang lumintu.
Lingkungan Hidup Lestari (1)
Oleh: Ibnu Subiyanto
Bupati Sleman 2000-2010
Surakarta dan Jogjakarta tidak mempunyai pelabuhan laut. Namun, keduanya dibuatkan dryport di Lempuyangan dan Jebres. Dari sinilah pemerintah Kolonial Belanda memungut bea dan cukai atas semua produk impor dan ekspor dari atau ke seluruh wilayah pedalaman.
Rupanya, pemerintah Kolonial Belanda sangat jeli melihat potensi perdagangan di suatu wilayah sehingga jaringan kereta api pun tertata dengan baik sampai distrik dan subdistrik. Dengan sendirinya, kedua ibu kota Kerajaan Jawa itu tumbuh menjadi pusat perdagangan. Dari dua aspek, pemerintahan dan perdagangan inilah bisa dilihat pertumbuhan kota-kota di Pulau Jawa dan sekaligus terlihat perkembangan arsitektur kota dan permukimannya.
Kota adalah area permukaan bumi yang sengaja dikorbankan untuk kepentingan spesifik agar tidak mengganggu sistem lingkungan alam agar tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, sebuah kota dengan sengaja dirancang dan dibangun agar tata guna lahan dan pemanfaatnya tidak mengganggu rancangan yang sudah dipersiapkan untuk pertanian, perkebunan, dan seluruh kawasan penyangga dari ekositem regional dan nasional.
Dalam konteks ekosistem kawasan, suatu kota ada bukan tiba-tiba ada. Tapi, memang diadakan untuk kepentingan yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, keberadaan suatu kota harus dibatasi dan tak boleh dibiarkan menyebar dan memuai ke segala penjuru arah mata angin.
Sejak pemerintahan Kolonial Belanda pun, pola pengaturan tata guna tanah dan kawasan sangat konservatif sehingga sebuah kota merupakan kawasan terbatas dengan administrasi khusus. Regulasi di bidang agraria menempatkan kawasan pertanian sebagai kultur masyarakat Jawa tetap dipertahankan dan menjadi pilihan utama sistem sosialnya.
Bagi pemerintah kolonial, ketersediaan lahan sebagai pembentuk perekonomian dikendalikan secara penuh agar ketersediaan bahan baku untuk industri dan komoditas pertanian lebih terjamin. Kepentingan industri pertanian lebih mengutamakan untuk menjaga luasan lahan tanam.
Kota-kota warisan yang dibangun di zaman kolonial sebetulnya dibentuk dengan pola hub and spoke, agar dapat melayani pengembangan agroindustri di Pulau Jawa. Hub sebagai poros biasanya menjadi kota karesidenan dan spoke menjadi kota distrik yang berfungsi untuk melayani industri perkebunan pada suatu area.
Semua kawasan perkotaan tersebut dihubungkan dengan jaringan kereta api, jaringan jalan raya (jalan pos/Daendels), serta jalan akses lokal dari stasiun kereta api perdesaan. Itulah konsep dasar pembentukan sebuah kota yang biasanya selalu tercantum sebagai city leaderships pemerintahan kota saat itu.
Dalam pertumbuhan kota-kota di Pulau Jawa pada masa penjajahan, kota distrik seperti Sragen, Salatiga, Ngawi, dan lain sebagainya telah tumbuh menjadi pusat ekonomi dan dikendalikan melalui dia sistem pemerintahan. Yakni, pemerintahan swapraja dan pemerintahan kolonial.
Kota karesidenan dalam kendalian penuh oleh pemerintah kolonial dengan mengangkat residen dan adminstratur kota yang berkedudukan setara dengan wali kota di zaman republik. Dengan demikian, kota kolonial diciptakan sebagai wilayah eksklusif untuk kepentingan terbatas guna melayani kepentingan sistem kolonial dan bisnis yang terkait.
Di bawah hukum diskriminasi rasial itu pula, suatu kota dipetak-petak dalam berbagai kepentingan yang dulu sering disebut zonasi wilayah kota. Kawasan perdagangan, kawasan pergudangan, kawasan pemerintahan, kawasan hunian nonpribumi, kawasan perkampungan pribumi, dan seterusnya. Semua kota di Jawa tumbuh setelah Perang Jawa selesai pada tahun 1830 dan pemberlakuan aturan culture stelsel di luar kawasan swapraja.
Pada masa penjajahan Inggris 1811 hingga 1816, Stanford Raffles ingin mengembangkan Pulau Jawa sebagai agroindustri, yang dengan terencana merampas penguasaan tanah dari para raja-raja di Jawa dengan menggunakan kekuatan militer. Agar dapat mengendalikan penguasaan lahan tersebut, Pulau Jawa dibagi 19 karesidenan, dan residen yang berada di Pantai Utara Jawa diberi tugas tambahan mengelola bandar laut yang pada akhirnya menjadi pelabuhan antarpulau.
Keputusan inilah yang menjadi dasar pembentukan dan pertumbuhan kota karesidenan sebagai hub. Meskipun gagasan Raffles tertahan, karena berdasar Traktat Wina (1814) Pulau Jawa harus dikembalikan kepada Kerajaan Belanda, konsep yang dirancang Raffles dilanjutkan Gubernur Van Der Cappelen. Liberalisasi datang dengan menggusur peran kaum pribumi, yang membawa akibat jangka panjang.
Liberalisasi yang tak disukai oleh para penguasa pribumi dan juga rakyat jelata yang harus menerima perlakuan keras dan kasar dalam pola diskriminasi rasial penguasa koloni, menjadikan gerakan perlawanan di mana-mana. Di sisi lain, liberalisasi menjadikan tanah jajahan sebagai sumber keuangan yang sangat besar bagi penguasa kolonial.
Kesemuanya itu, dikelola melalui organisasi yang tertata dengan sistematis melalui kota-kota yang terangkai dalam pola hub and spoke di seluruh Pulau Jawa. Dari sinilah kita bisa memahami, lahirnya kota-kota di Pulau Jawa tidak terlepas dalam konteks membangun kekuatan sistem koloni dalam mengendalikan bangsa pribumi. Raffles sendiri menyatakan bahwa orang pribumi harus dikendalikan dengan cambuk atau pelor emas.
Pertanyaan pun muncul, jikalau sistem kolonial itu sudah lama diakhiri tentulah ada bentukan sistem baru yang mengakhiri ketidaknyaman diskriminasi antarwarga. Berpuluh tahun setelah negeri ini merdeka, ketidaknyamanan sosial pun berlanjut dan dirasakan warga kota-kota warisan itu, yang bersumber dari gagal paham terhadap arah pembentukan kota dan salah urus pengelolaan kotanya.
Kota warisan pun dikelola dengan pola pendekatan yang sama dengan jaman dulu di era penjajahan, yang sama sekali tak memperhatikan semangat sebagai warga negara yang telah merdeka. Inilah persoalan yang selalu dipertanyakan generasi baru bangsa ini, kotaku tidak pernah berubah sejak bangsaku telah merdeka sampai muncul generasi milenial ini.
Memang, kadang kala kita menyaksikan anak-anak muda yang pesimistis dan ragu apakah kotanya akan berubah dan maju. Artinya, masyarakat dan generasi muda pada umumnya, punya harapan besar pada kota yang dicintainya dapat memberi ruang kehidupan yang layak di masa datang.
Mereka punya kepentingan 10 atau 20 tahun ke depan punya tanggung jawab melanjutkan warisan pekerjaan sang pemimpin masa lalu. Sebab, semua warga ingin mempunyai kota yang bukan saja nyaman dihuni, tetapi memberi penghidupan yang lumintu. (*/amd/rg/mg3)