BANTUL – Nasib bahasa Jawa mengkhawatirkan. Sekalipun di DIJ yang notabene paling kental dengan nuansa dan tradisi Jawa. Itu dibuktikan dengan lunturnya penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali di lingkungan sekolah.
Di SD Negeri (SDN) Bangungharjo, misalnya. Sebagian besar siswa tidak dapat membedakan jenis bahasa Jawa. Seperti ngoko dan krama. Apalagi, menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.
”Ngoko biasanya berbicara dengan seumuran. Nah, anak-anak sekarang sama gurunya juga pakai bahasa ngoko,” tutur Kepala Sekolah SDN Bangunharjo Ratna Maharani di kantornya Kamis (8/11).
Retna menengarai salah satu faktor lunturnya bahasa Jawa di kalangan siswa adalah lingkungan. Terutama, keluarga dan tempat tinggal sekitar. Keluarga dan lingkungan sekitar rumah tidak terbiasa dengan bahasa Jawa krama. Khususnya siswa yang tinggal di kompleks perumahan. Sebab, mayoritas penghuni di kompleks perumahan adalah pendatang. Praktiknya, siswa sering menggunakan bahasa ”gado-gado”. Antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ngoko.
”Kalau anak-anak ditanya: nembe maem napa? Jawabannya, kalau tidak menggunakan bahasa Indonesia ya bahasa ngoko: Lagi mangan roti, bu,” ucapnya menirukan jawaban siswanya.
Menurutnya, sekolah sudah berusaha membiasakan berbahasa Jawa krama. Namun, sebagian siswa masih kesulitan mencernanya. Butuh waktu pelajaran lebih banyak.
”Kami hanya memiliki waktu dua jam dalam seminggu untuk mempelajari bahasa Jawa. Saya rasa waktu tersebut sangat minim,” ungkapnya.
Ditempat yang sama, Ponirah, guru kelas SD Bangunharjo mengaku sering menggunakan bahasa campuran saat menyampaikan pelajaran. Meski bahasa Indonesia yang mendominasi. Itu lantaran sebagian siswa SDN Bangunharjo adalah pendatang.
”Jadi memang sulit diterapkan kalau harus berbahasa Jawa penuh. Di sisi lain, pengajar juga minim ilmu bahasa jawa karna tidak membidangi,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Bantul Sunarto mengungkapkan, ada banyak cara untuk mempopulerkan sekaligus membiasakan penggunaan bahasa Jawa. Tidak sekadar melalui pembelajaran di sekolah. Bisa melalui dengan budaya tradisi Jawa. Seperti mengenal tembang Jawa.
”Kita juga bisa mengajarkan drama dan tari kepada anak-anak, sehingga tumbuh ketertarikan terhadap bahasa Jawa,” katanya.
Berbeda dengan Sunarto, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Bantul Didik Warsito berpendapat perlu inovasi dalam pembelajaran bahasa Jawa. Agar pembelajaran lebih menarik. Tidak hanya berkutat pada buku. Melainkan juga pada praktik.
”Sesekali edukasi bisa dilakukan di luar kelas. Tentunya sekolah harus lebih kreatif mengemasnya,” ujarnya.
Ketika disinggung mengenai jam pelajaran yang minim, Didik melihat, hal itu bisa disiasati. Caranya dengan belajar di luar jam sekolah. Seperti ekstrakurikuler.
”Kepala Sekolah harus berinovasi angkat bahasa Jawa,” tambahnya. (cr6/zam/er/mg3)