BANTUL- Berbeda dengan petani, perajin batu bata meradang dengan datangnya musim hujan. Proses produksi salah satu bahan bangunan itu menjadi lebih lama. Lantaran minimnya sinar matahari.
Wagiman, 57, seorang perajin batu bata mengatakan, proses pengeringan batu-bata saat musim hujan memakan waktu dua hingga tiga hari. Padahal, saat musim kemarau hanya sehari.
”Batu-bata juga rentan rusak. Sebab, saat musim hujan bisa terkena tetesan air,” jelas Wagiman di tempat produksi batu-bata miliknya Selasa (20/11).
Biasanya, perajin batu-bata asal Bawuran, Pleret, ini punya cara untuk menyiasati musim hujan. Caranya dengan menutup batu-bata yang dijemur dengan plastik. Itu untuk mengantisipasi hujan yang datang tiba-tiba.
”Sehingga butuh plastik yang banyak,” ucapnya.
Dengan berbagai kendala ini, Wagiman mengungkapkan, harga batu-bata saat musim hujan naik. Dari Rp 480 menjadi Rp 490 per buah. Tapi harga itu dengan syarat. Pembelian minimal 500 buah.
”Sehari biasanya memproduksi 400 hingga 700 buah,” sebut perajin yang memiliki tiga pegawai harian ini.
Seperti perajin batu-bata, produsen emping juga menemui kendala produksi saat musim hujan. Maisaroh, seorang produsen emping singkong menyebut produksi emping menurun belakangan ini. Saat musim hujan dia hanya mengolah satu kuintal per hari.
”Biasanya dua kuintal,” jelas pelaku usaha mikro kecil asal Bantul Karang, Ringinharjo, Bantul, ini.
Hingga sekarang, belum ada cara jitu bagi produsen emping singkong untuk menyiasati musim hujan. Maisaroh pernah menggunakan oven untuk mengeringkan bahan emping. Namun, hasilnya tak maksimal.
”Emping mengkerut. Jika digoreng hasilnya keras,” tuturnya.
Menurutnya, musim hujan juga kerap memicu munculnya jamur jika emping belum benar-benar kering. (cr6/zam/by/mg3)