RIBUAN perempuan pekerja rumahan (PPR) di DIY belum memperoleh perhatian pemerintah. Mereka butuh pengakuan layaknya pekerja pada umumnya. Salah satunya melalui pembuatan peraturan daerah sebagai payung hukum untuk melindungi mereka.
Isu itu mengemuka di sarasehan yang diadakan DPRD DIY bersama Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta. Staf Kajian Pendidikan dan Pelatihan Yasanti Hikmah Diniah mengungkapkan, bagi PPR gaji merupakan hal krusial. Kerja keras PPR tidak sebanding dengan upah yang diperoleh.
Jumlah PPR di DIY tercatat 1.297 orang. Terdiri di Sleman 202 orang, Kota Yogyakarta 255 dan Bantul 1.052 orang. “Ini belum termasuk Gunungkidul serta Kulonprogo,” katanya. Pengajuan regulasi untuk perlindungan PPR sudah dimulai sejak 2015.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ane Permatasari menyatakan, PPR bekerja tanpa kontrak tertulis sehingga tidak memiliki posisi tawar. Upah yang diterima di bawah upah minimum kabupaten (UMK). “ Mereka tidak ada jaminan sosial maupun jaminan perlindungan lainnya,” kata dia.
Selama ini belum ada peraturan tentang PPR di tingkat nasional maupun daerah. Karena itu, Pemerintah DIY bisa menyusun regulasi berbentuk perda maupun peraturan gubernur (pergub). “Isu PPR ini bagaikan fenomena gunung es sehingga perlu segera ditindaklanjuti pemerintah,” desaknya.
Wakil Ketua DPRD DIY Dharma Setiawan menyatakan, DPRD DIY telah membicarakan kemungkinan penyusunan perda mengenai ketenagakerjaan. “Kami definisikan semua mengenai buruh atau pekerja agar masuk di program pembentukan peraturan daerah (Propemperda) 2019. Tidak hanya perda, tapi akan ada perda dan pergub ketenagakerjaan ,” jelasnya. Anggota Komisi D Soleh Wibowo setuju dibuat regulasi untuk perlindungan dan pengakuan PPR. (had/mg3)