Kecintaannya pada sejarah menggugah Elly T. Halsamer membuat sebuah inovasi berdimensi digital. Mengenalkan sejarah lewat museum berteknologi augmented reality. Sasarannya kaum milenial. Bagaimana bentuk museumnya?

SUKARNI MEGAWATI, Bantul

ELLY tak sekadar senang mempelajari sejarah sebagai bagian warisan budaya. Tapi lebih dari itu. Sebagai pecinta sejarah dia merasa punya kewajiban moral untuk mempertahankan budaya Indonesia. Nah, itu diwujudkannya dengan membangun sebuah museum.

Bukan museum sembarangan. Tidak seperti umumnya museum sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno. Museum milik founder D’Topeng Kingdom Group itu berkonsep interaktif. Dengan teknologi augmented reality. Inilah yang membuat museumnya beda dari yang lain.

Ditemui di Jogja Expo Center Senin (4/12) Elly tampak semringah. Dengan tekun dia menjelaskan tentang museumnya. Detail. Untuk menikmati koleksi museum ini pengunjung membutuhkan aplikasi History of Java Museum AR. Aplikasi ini bisa diunduh lewat PlayStore smartphone.

Ketika dibuka, aplikasi ini akan memunculkan kamera. Kamera aplikasi itu lantas diarahkan ke sebuah gambar koleksi museum yang sudah didesain canggih. Gambar yang muncul di smartphone berbentuk tiga dimensi. Berupa karakter yang lebih hidup. Disertai suara.

Sadar jika yang diajak ngobrol penasaran, perempuan 48 tahun itu lantas meminta Radar Jogja mengunduh aplikasi itu.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya berhasil juga. Aplikasi berjalan sesuai fungsinya. Sensasinya memang luar biasa. Poster-poster yang terpampang di barat gedung JEC milik Museum History of Java lebih terasa hidup. Pengunjung pun bisa ber-selfie atau bermain dengan setiap karakter hidup itu. Fitur audio makin membuat suasana terasa lebih hidup.

“Jadi kita bisa langsung berinteraksi (dengan koleksi museum, Red). Tapi ya memang tidak bisa dipegang ya,” katanya sambil menunjukkan salah satu karakter manusia purba lewat smartphone-nya.

Ide kreatif itu dibuatnya demi menarik minat kaum muda. Agar lebih mencintai museum. Elly optimistis, jika seluruh museum menggunakan teknologi augmented, akan banyak anak muda tertarik berkunjung.

Menurutnya, konsep museum seperti itu sangat sesuai dengan era milenial. Rasa keingintahuan mengenai sejarah dipadukan dengan perkembangan teknologi. “Lebih asyik memang untuk kawula muda,” katanya sambil menunjukkan beberapa gambar yang muncul di-smartphone-nya.

Sayangnya, museum jenis ini baru ada di tiga wilayah. Antara lain: Indonesian Heritage Museum yang berada di kompleks Museum Angkut, Batu, Malang. Museum ini bercerita tentang kesukuan Indonesia. Kedua di Lamongan.

Tepatnya di Indonesian Islamic Art Museum. Mengangkat tentang kebesaran Islam di dunia. Termasuk Wali Sanga. Terakhir, The Miracle/aneh tapi nyata. Memuat tentang kejadian luar biasa di dunia. Menyangkut bencana alam terbesar. “Tenang saja, pada 10 Desember mendatang kami hadir di Pyramid, Jalan Parangtritis KM 5,5, Jogja,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan koleksi museumnya? Elly mengaku tak kesulitan mencari referensi sejarah. Buku-buku sejarah karangan penulis terkenal jadi rujukannya. Yang kredibilitas muatannya sudah terbukti secara ilmiah.
“Kami hanya menceritakan yang sudah dipercaya secara internasional,” katanya.

Soal nama museumnya, Elly mendapat inspirasi dari Rafles. Kendati begitu, buku Rafles yang sudah ditulis seabad lalu, menurutnya, masih banyak kekurangan. “Kami memang butuh kurun waktu yang begitu panjang. Agar penyempurnaan lebih seimbang,” jelasnya.

Kemarin Radar Jogja menyempatkan mampir di History Museum of Java yang ada di Pyramid Parangtritis. Di situ banyak terdapat poster dinding. Juga beberapa artefak yang disusun secara kronologikal. Mulai kerajaan Hindu-Budha hingga peninggalan Keraton Mataram. Tak ketinggalan beberapa poster terapampang dengan teknologi augmented reality. Nuansa di dalam museum itu memang terasa beda. Terasa lebih hidup. “Uniknya, museum kami punya koleksi Kerajaan Majapahit. Ini jadi salah satu ikon kami,” ujar Elly.

Elly merintis museumnya bersama sang suami. Dilandasi hobi keduanya. Mengoleksi barang-barang antik bernuansa artefak. Itu sudah sejak 25 tahun lalu. Barang-barang itu juga menjadi koleksi museumnya. Sebagai aset penting dan sangat berharga milik D’topeng Kingdom Group. (yog/fn)