Kondisi lingkungan membuat AG Irawan tergerak mengelola sungai. Untuk mengedukasi masyarakat. Agar lebih mencintai ekologi sungai. Berikut perjalanan AG Irawan menjadi aktivis pecinta lingkungan.
JAUH HARI WAWAN. S, Sleman
“Itu kenyataan. Sungai di Sleman banyak yang tercemar,” beber AG Irawan membuka obrolannya dengan Radar Jogja.
Sungai tercemar limbah industri domestik maupun rumah tangga bukanlah sebuah rahasia. Mulai plastik kemasan makanan/minuman, kertas, popok, kasur bekas, bahkan bangkai hewan.
Semuanya masih banyak ditemukan di sungai. Dibuang dengan cara dihanyutkan. Sudah pasti kondisi itu merusak ekosistem sungai. Bakteri E.coli juga bertambah banyak.
Keresahan itu diradasakan Irawan sejak 2003. Ketika itu dia masih berdomisili di sekitar Sungai Boyong. Dia dulu berprofesi sebagai wartawan. Pada medio 1999 – 2011. Dengan latar belakang sebagai jurnalis dia kerap melakukan pengamatan. Dia melihat banyak sekali perilaku masyarakat yang abai terhadap lingkungan.
Penambangan pasir membabi-buta, salah satunya. “Tambang itu kan juga nantinya merusak lingkungan dan mengurangi ketersediaan air,” keluhnya.
Pola edukasi masyarakat selama ini masih menjadi kendala. Kesadaran kolektif masih rendah. Jika ada seseorang yang membuang sampah ke sungai, yang lain akan mengikuti. “Yang kami hadapi ini wong ndableg. Mereka sadar itu salah tapi tetap dilakukan,” kata Irawan.
Dia sadar. Tidak mudah menyadarkan masyarakat. Apalagi mereka yang telah lama tinggal di pinggir kali.
Tapi kesadaran itu mutlak. Bukan sekadar demi kelestarian lingkungan. Tapi demi keamanan. Dan pencegahan bencana. Banjir. “Mereka kan tinggal di sempadan sungai. Sudah seharusnya mereka paham potensi bahayanya,” tutur Irawan yang juga ketua forum komunitas sungai Sleman (FKSS).
Diakuinya, di beberapa wilayah Sleman, sempadan sungai masih menjadi primadona masyarakat sebagai tempat tinggal. Kampung Mrican, Caturtunggal, Depok, salah satunya. Warga di sana telah akrab dengan banjir Sungai Gajahwong. Padahal tinggal di sempadan sungai sebenarnya dilarang. “Sekarang (sempadan, Red) malah jadi permukiman karena saking banyaknya yang tinggal di sana,” sesal Irawan.
Pria paro baya itu lantas berbagi trik untuk mendeteksi sejarah banjir di suatu daerah. Terutama yang berdekatan dengan sungai. Trik itu untuk menentukan lokasi aman dari terjangan banjir.
“Cukup gali tanah pada jarak 5 – 10 meter (dari sungai, Red). Kalau ketemu serabut kayu pasti itu dulu pernah kena banjir,” jelasnya.
Cerita Irawan tentang sungai tidak hanya berhenti di situ. Sembari menyeruput teh hangat dia melanjutkan pengalamannya. “Sungai itu dibagi tiga wilayah,” sambungnya.
Hulu untuk wilayah konservasi. Termasuk menjaga mata air. Agar ke depan tidak ada air mata akibat ketersediaan air kurang. Juga sebagai paru-paru. Artinya, kualitas udara di hilir harus bersih. Itu bisa terjadi jika vegetasi terjaga dengan baik.
Selanjutnya wilayah tengah sebagai area penataan permukiman. “Area tengah ini sebanarnya menjadi kunci agar biota sungai terjaga. Asal, perilaku masyarakatnya baik,” ucapnya.
Kemudian, area hilir. Fungsinya untuk suaka ikan. “Jika dari hulu saja sudah tercemar, hilir pasti jarang ada ikan,” katanya yakin.
Indikator kebersihan air, lanjut Irawan, bisa dilihat dari keberadaan hewan tertentu. Capung, contohnya. Jika ada populasi capung, air sungai itu bersih. Sebab, larva capung tidak bisa hidup pada air yang tercemar. Selanjutnya udang. Menunjukkan tingkat pencemaran radioaktif rendah.
Irawan menegaskan. Dengan mimik serius. Pentingnya kelestarian sungai. Harus dijaga. Secara kolektif. Membutuhkan kesadaran individu. Yang berkembang menjadi kesadaran kokektif.
Pun demikian dengan dirinya. Tak ingin hanya menjadi pengamat. Tapi terjun langsung mengedukasi masyarakat. (yog/riz)