JOGJA – Bupati Gunungkidul Badingah didesak agar tidak mencairkan dana bantuan keuangan khusus (BKK) dusun yang ada di APBD Tahun Anggaran (TA) 2019 Kabupaten Gunungkidul. Nilainya cukup fantastis. Yakni sebesar Rp 30 miliar. Dana itu rencananya dibagi-bagikan untuk 3.000 dusun se-Gunungkidul. Setiap dusun mendapatkan alokasi Rp 10 juta.
“Bupati Gunungkidul dan jajarannya harus berani bertahan tidak mencairkan sesuai evaluasi Gubernur DIJ,” ungkap Direktur Lembaga Pembela Hukum (LPH) Jogja Triyandi Mulkan SH MM dalam surat yang dikirimkan ke bupati Gunungkidul, Minggu (10/2).
LPH, lanjut dia, senantiasa mengikuti, mengawal dan mencermati perkembangan pembahasan BKK dusun tersebut. Sejak awal, pihaknya mencium aroma tak sedap di balik penganggaran BKK dusun tersebut.
Mestinya, alokasi anggaran tersebut diberikan kepada jajaran pemerintahan terendah yakni pemerintah desa. Bukan diberikan kepada dusun. Apalagi saat ini menjelang Pemilu 2019. Pengucuran dana tersebut rawan disalahgunakan dan dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.
“Bupati harus berhati-hati. Bila ternyata pada akhirnya tetap dicairkan dengan cara melanggar hukum, maka LPH akan menggunakan hak hukum sesuai UU dan membawanya ke ranah hukum,” ingat Bang Andi, sapaan akrabnya.
Dikatakan, pembahasan BKK dusun itu menarik diikuti. Itu lantaran ngototnya para anggota DPRD Gunungkidul meminta kepada bupati segera mencairkan BKK dusun tersebut. Dia memertanyakan, apakah anggota DPRD Gunungkidul tidak membaca dan mencermati evaluasi gubernur DIJ terhadap RAPBD TA 2019 Kabupaten Gunungkidul. Secara etika dan moral tidak elok jika pencairan suatu anggaran melalui tekanan dan keterpaksaan.
Bang Andi menyarankan agar dana BKK dusun tidak disalahgunakan untuk tujuan-tujuan tidak jelas dan bertentangan dengan norma hukum. Lantaran sumbernya dari APBD, LPH sekali lagi mengingatkan agar penggunaan anggaran tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Merujuk Permendagri No. 32 Tahun 2011 yang telah diubah dengan Permendagri No. 39 Tahun 2012 secara jelas dan rinci mengatur semua prosedur penerimaan hibah dan bantusan sosial (bansos). Permendagri menegaskan, penerima bantuan keuangan khusus adalah desa dan bukan dusun.
“Pertanyaannya apakah BKK dusun ini pernah dibahas tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) bersama DPRD Gunungkidul. Apakah itu juga tercantum dalam rencana kerja anggaran (RKA) sebagaimana dituntut para anggota dewan?” tanya Bang Andi.
Meski ada hal-hal yang patut diduga tak sesuai aturan, ada kecenderungan pihak eksekutif yakni Pemkab Gunungkidul cenderung tak punya sikap berani melawan arus. Atau menolak permintaan DPRD terhadap suatu program karena khawatir dipersulit dalam merencakan program dan kegiatan di masa datang. Karena itu, LPH berharap bupati dapat memanfaatkan keberadaan Tim Pengawalan Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) yang berada di Kejaksaan Tinggi DIJ maupun Kejaksaan Negeri Gunungkidul. “Bupati perlu meminta legal opinion (pendapat hukum, Red) dari kejaksaan,” sarannya.
Selain dikirimkan ke bupati Gunungkidul, surat tersebut juga dilayangkan ke gubernur DIJ, kepala Kejati DIJ, ketua dan wakil ketua DPRD Gunungkidul serta kepala Kejari Gunungkidul.
Terpisah, Anggota Komisi A DPRD Gunungkidul Sugeng Nurmanto mengakui, keberadaan BKK dusun itu telah mengundang sorotan berbagai kalangan. Namun demikian, Sugeng meminta semua pihak tidak berspekulasi apalagi berburuk sangka.
Dewan, sambung Sugeng, masih dalam posisi melakukan pencermatan terhadap evaluasi gubernur DIJ atas RAPBD TA 2019 Gunungkidul. “Evaluasi itu akan kami bahas Senin (11/2),” ujar Sugeng kemarin.
Dengan demikian, parlemen belum membuat sikap apapun atas persoalan tersebut. Bagi Sugeng, latar belakang alokasi BKK dusun itu punya alasan yang mendasar. Pengucuran dana tersebut juga tidak langsung ke dusun. “Tetap melalui desa,” katanya.
Sesungguhnya BKK dusun itu telah dianggarkan sejak RAPBD 2018 Perubahan. Namun karena APBD perubahan tidak mendaparkan persetujuan gubernur, anggaran BKK dusun dialokasikan ulang di RAPBD 2019.
Dia mengucapkan terima kasih atas atensi dari berbagai pihak termasuk dari LPH Jogja. Perhatian itu merupakan bentuk pengawasan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Gunungkidul. “Kami semua tentu sepakat, meski tujuan penanggaran suatu program dan kegiatan baik, tapi jangan sampai melanggar aturan,” tandasnya. (kus/zam)