SEJAK diberlakukannya pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak di akhir 2015, dimensi ketatanegaraan mengalami pemenuhan ikhtiar atas praktek pelaksanaan Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015. Secara tegas dalam Pasal 5 menyatakan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap (5) lima tahun sekali secara serantak diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Demikian hal, muatan aturan pemilihan serentak ini diarahkan dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Harapan dari diadakannya pilkada tidak hanya ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara, tetapi juga penyelesaian sengketa yang terjadi, maka konsekuensi pemilihan kepala daerah secara serentak ini diantisipasi melalui mekanisme penyelesaian Pilkada yang menjadi bagian dari proses demokrasi melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang di pandang tepat dalam mengakomodir kepastian pemilu yang berkualitas (Huda, 2011).
Melalui jalur litigasi yang ditangani oleh MK berkesesuaian dengan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengarahkan akan para peserta pilkada yang kurang berkenan dengan hasil rekapitulasi dapat mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Demikian hal, terhadap hasil penetapan Pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU-Daerah) dapat diajukannya permohonan dengan tenggang waktu 3 x 24 jam sejak penetapan hasil oleh KPU-Daerah.
Kuantitas selisih hasil Pilkada dalam terselenggaranya sengketa tidak lepas dari 2 (dua) rujukan penting tahapan lanjut bagi para calon mengetahui pembatasan secara yuridis diatur dalam Pasal 158 ayat (1) dalam hal mengatur syarat jumlah perbedaan hasil suara untuk provinsi yaitu: Pertama, Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta, maka selisih persentase sebesar 2 persen; Kedua, Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta – 6 juta, maka selisih persentase sebesar 1,5 persen; Ketiga, Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta – 12 juta, maka selisih persentase yakni sebesar 1 persen; Keempat, Provinsi dengan jumlah penduduk >12 juta, maka selisih persentase yakni sebesar 0,5 persen.
Pasal 158 ayat (2) mengatur syarat jumlah selisih suaraa untuk Pilkada Kabupaten/Kota yaitu: Pertama, Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka persentase hasil suara yakni 2 persen; Kedua, Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 250 ribu – 500 ribu, maka persentase hasil suara yakni 1,5 persen; Ketiga, Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 500 ribu – 1 juta, maka persentase hasil suara yakni 1% persen; berikutnya Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta, maka persentase hasil suara yakni 0,5 persen.
Dari pembatasan persentase selisih perolehan hasil pemilihan suara tersebut, timbul kemudian persepsi pro dan kontra kewenangan MK dalam mengadili permohonan sengketa perselisishan hasil perolehan suara, tentu implikasi dari MK dalam menindaklanjuti kewenangan secara tertulis melalui undang-undang menangani sengketa selisih perolehan suara hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi menjadi ikhtiar bersama dalam menerapkan kualitas pemilihan kepala daerah yg demokrasi.
Integritas Pilkada
Sebagai ikhtiar dalam proses pengawalan kualitas penyelesaian pilkada, MK dengan kewenangan sementara melalui Pasal 157 ayat (1-3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebelum pilkada serentak nasional di tahun 2024 nanti melalui badan peradilan khusus, upaya pengawalan sengketa pilkada salah satunya melalui ambang batas sebagai prasyarat sebelum menindak lanjuti proses selanjutnya stelah lolos dari proses dismisal.
Melalui rumusan pembatasan tesebut tidak memungkinkan pula pemberlakuannya tanpa pemilahan melalui dinamika pemeriksaan dalam persidangan. Demikian hal, MK sebagai lembaga pertama dan terakhir terhadap penyelesaian sengketa pilkada secara getol mengemban amanah tidak terjatuh kembali pada pengalaman yang sama pasca kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar di tahun 2013 silam lalu.
Pemenuhan ikhtiar melalui adanya pemberlakuan ambang batas secara proposinal yang dibidani oleh domain para hakim MK sebagai dorongan kewaspadaan dari oknum-oknum tertentu yang menghalalkan segala macam cara dalam memenangkan sengketa Pilkada.
Jika dilihat kedepan, maraknya calon kepala daerah terlalu sering didengar tersandung kasus hukum lain setelah memenangkan sengketa pilkada, gejolak hingga spekulasi bahwa minimnya seorang pemimpin lokal yang berintegritas hingga menurunkan kualitas proses demokrasi dari kaca mata politik kalangan masyarakat sekitar daerah yang bersangkutan dengan pemilihan kepala daerah.
Etika Demokrasi
Melalui pembatasan sebagai domain kewenangan Hakim MK dalam menyelesaikan sekaligus mengawal demokrasi yang sesuai dengan asas pemilihan yanga “Jurjur dan Adil” menjadi legitimasi keberadaban masyarakat lokal serta tindak lanjut dalam penyesuaian jenis pelanggaran pilkada dalam menemukan pemecahan permasalahan yang sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Pemilihan kepala daerah sebagai salah satu unsur demokrasi sekaligus mewadahi aspirasi politik juga dikatakan perlu didampingi oleh hukum jika diartika sebagai “dua sisi koin mata uang” selalu mengisi satu sama lain.
Pembatasan lahir dari kebijakan hukum terbuka (open legal polic) sebagai upaya pemicu ketelitian baik para penegak hukum (advokat) maupun para kontestan peserta pemilihan kepala daerah untuk mengetahui ketentuan yang berlaku dan mentaati kesesuaian hukum yang berlaku sebagaimana cita dari tujuan hukum itu dibuat secara maknawi kandungannya dalam menjaga, menerapkan, serta menjamin tegaknya etika dan hukum di Indonesia yang menerapkan demokrasi. (ila)
*Penulis merupakan alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta