JOGJA – Sampah kian hari menjadi isu memprihatinkan. Tak hanya bagi masyarakat nasional, tapi juga internasional. Untuk mengatasi, perlu gerakan nyata lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintah. Meski tak mudah, hal itu tak menutup kemungkinan jika dilakukan secara perlahan.

Beberapa kalangan masyarakat telah memulai berbagai gerakan untuk mengatasi limbah. Khususnya limbah rumah tangga yang paling mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Project B Indonesia misalnya, mulai menggiatkan aktivitas daur ulang sejak 2008. Sang penggagasnya, Hijrah Purnama Putra, memulai ide itu sejak duduk di bangku kuliah.

“Awalnya karena sering nongkrong di burjo (warung makan),” kata Hijrah saat ditemui di tempat workshop-nya,  Jalan Banteng Permai Indah, Ngaglik, Sleman. Kala itu dia melihat sampah sachet bekas minuman dibuang begitu saja. Dia dan rekan-rekannya merasa prihatin. Hingga akhirnya berinisiatif untuk mengumpulkan sampah.

Sampah yang dikumpulkan mulanya berasal dari para pedagang. Setiap dikumpulkan, mereka akan mendapat imbalan uang. Sehingga terciptalah sistem semacam bank sampah.

Dalam sebulan, para pedagang yang menyetor sampah akan dicatat sebagai nasabah yang menabung. Syaratnya, jenis sampah yang diberikan hanya bisa berupa sachet bekas kemasan minuman atau makanan.

Sachet kecil dihargai Rp 10, ukuran sedang Rp 50, dan besar Rp 70 untuk setiap lembar. “Kenapa per lembar, karena kami ingin menghargai orang yang mau memilah sampah,” ucap Hijrah. Sebab, diakuinya, memilah sampah bukanlah pekerjaan mudah.

Berkat mengumpulkan sachet itulah Hijrah lantas bisa mengolahnya menjadi beragam produk. Tak hanya itu, melalui searching di internet, Hijrah akhirnya menemukan ide kreasi dari bahan sachet bekas. Iseng-iseng, pria alumnus UII ini mulai membuat tas dan dompet. Tak disangka, ternyata respons dari masyarakat cukup baik.

“Hasil produknya saya foto dan bagikan lewat Facebook. Ternyata banyak yang memesan,” tutur Hijrah. Hadirnya ide kreasi produk itu lantas menguatkan label Project B Indonesia dengan tambahan nama: Butik Daur Ulang.Tak ada makna khusus terkait penamaan itu.

Hijrah mengungkapkan, penambahan nama itu hanya bertujuan memudahkan masyarakat yang ingin mengenal produk-produk buatannya. Bank sampah yang kian ditekuninya sejak 2010 pun semakin banyak nasabahnya.

“Kurang lebih sampai sekarang ada 350-an kelompok yang bergabung,” kata Hijrah. Dalam satu kelompok terdiri atas 6-8 orang. Hingga kini, kelompok nasabah bank sampah telah tersebar di Kota Jogja, Kabupaten Bantul, Sleman, bahkan luar daerah seperti Aceh dan Pekanbaru.

Terkait sistem bank sampah, Hijrah mengaku peminatnya kian meningkat dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, kini dia bersama timnya sedang merencanakan sistem layaknya m-banking.

“Biar semakin mudah diakses oleh para nasabah. Hanya dengan ponsel bisa dicek saldonya berapa, rekap per bulan, dan kemudahan lainnya,” ujar bapak dua anak itu. Proses itu pun ia lakukan secara bertahap.

Terkait pengolahan, tak butuh waktu lama untuk mengubah sampah menjadi berbagai produk. Sampah sachet yang telah dikumpulkan direndam seharian lalu dicuci dengan sabun pencuci piring. Kemudian, dibilas dua kali dan dijemur hingga kering.

Sachet bekas yang potongannya rapi dikatakan layak menjadi bahan baku produk. Lantas dipilah berdasarkan nama merek untuk memudahkan pembuatan. Sedangkan yang tidak memenuhi kualifikasi dirajang atau diubah menjadi ragam produk yang lain.

Ada pun para perajin dan penjahit yang dipekerjakan sebagai pegawai tetap, mengerjakan pesanan di tempat masing-masing. Seperti Bantul dan Klaten.

Bermula dari keisengan, Butik Daur Ulang Project B Indonesia kini kian dikenal masyarakat. Tokonya yang terletak di Jalan Sukoharjo 132, Condongcatur, Sleman, bahkan kerap didatangi pengunjung. Tak hanya dari warga sekitar, tapi juga pemerintah dinas terkait yang peduli pada kelestarian lingkungan.

Di toko itu, beragam produk di-display. Mulai dari tas laptop, tas punggung, dompet, pouch, gantungan kunci, tempat sepatu, dan masih banyak lainnya. Hijrah pun kerap diundang untuk mengisi pelatihan-pelatihan di berbagai daerah, instansi, hingga kampus.

Melalui gerakan itu, Hijrah berharap semakin banyak masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan. “Daripada sampah dibakar dan mencemari udara, lebih baik diolah menjadi produk berguna,” pesannya.

Edukasi Masyarakat

Di sisi lain, ada pula Komunitas Lingkungan (Koling) Lima Berlian Plus. Sekelompok perempuan penggiat lingkungan di wilayah Kota Jogja ini juga melakukan hal serupa.

Mereka mendaur ulang berbagai produk dari limbah rumah tangga menjadi beragam produk. Mulai dari tempat tisu dari koran, gantunan kunci dari tutup botol bekas, sampai bros dari sedotan bekas.

Sri Martini, 44, salah satu anggotanya. Dia mengatakan, anggota koling Lima Berlian Plus punya visi yang sama untuk pelestarian lingkungan. “Kami punya satu pemikiran. Yakni tentang pentingnya menjaga lingkungan dengan baik,” ujarnya saat ditemui Radar Jogja pekan lalu.  Hal itulah yang mendorong Sri beserta rekan-rekannya untuk mendaur ulang sampah.

Meski baru resmi dibentuk awal tahun lalu, para anggota Lima Berlian Plus sudah aktif di bidang pelestarian lingkungan sejak 2009. Penyuluhan kepada masyarakat menjadi salah satu kegiatan mereka. Penyuluhan itu dilakukan agar masyarakat peduli dengan lingkungan sekitar.

Dengan mengkreasikan limbah plastik tersebut, nilai jualnya juga turut bertambah. Jika di bank sampah dalam 1 kg dijual seharga Rp 250-Rp 350. Maka dengan mendaur ulang harganya bisa mencapai Rp 10 ribu. Tas dari bahan sachet bekas itu bahkan bisa dijual dengan harga ratusan ribu. Dari situ, Sri mengaku banyak keuntungan yang bisa diperoleh berkat penjualan.

Terkait masalah pencemaran limbah plastik, Sri pun menekankan pentingnya kesadaran masyarakat. “Masyarakat harus sadar mengelola sampah lewat 3R. Reduce, reuse, dan recycle,” ujarnya. Dia juga mengimbau warga bisa memilah sampah di tiap rumah tangga. Sehingga dia berharap, kelak masyarakat bisa lebih aktif menjaga kelestarian lingkungan. “Semoga Joga bisa bebas sampah 2020,” harapnya. (cr9/laz/mg2)