PURWOREJO – Banjir selalu mengundang cerita. Seperti terjadi di Desa Gesing, Purwodadi, Purworejo. Setiap kebanjiran para pria dewasa desa itu tak segan berendam di air seharian. Demi membantu pengguna jalan keluar dari genangan air. Tanpa upah atau imbalan. Berikut kisahnya.

HENDRI UTOMO, Purworejo

PAGI itu, jalan menuju Pantai Jatimalang, Purwodadi, Purworejo lumpuh total. Tepatnya di wilayah Desa Gesing. Tepat di utara Jalan Daendels. Sungai Lereng meluap. Karena hujan dua hari berturut-turut. Anak Sungai Bogowonto itu bermuara di Pantai Congot. Pengguna jalan arah Purworejo – Jogjakarta pun kelimpungan. Banjir terjadi sejak Minggu (17/3) hingga sehari berikutnya.

Setiap tahun kawasan itu memang langganan banjir. Setiap tahun pula jalan penghubung Purworejo – Kulonprogo di wilayah Bagelen tertutup air. Tak bisa dilalui kendaraan. Karena tinggi air lebih tinggi dari knalpot atau mesin kendaraan. Roda empat harus memutar lewat Jalan Dandels via Grabag.

Tembus di Kutoarjo. Lalu memutar ke Purworejo. Demikian pula sebaliknya. Jalan-jalan tikus pun tegenang air. Bahkan, ketinggian air di jalur alternatif Purworejo – Jogjakarta di Desa Karangsari dan Watukoro, Purwodadi mencapai lutut orang dewasa. Di Desa Gesing malah lebih dari satu meter.

Permukiman warga terendam air. Ratusan orang mengungsi. Tapi mereka tak kehilangan akal. Mobilitas harus tetap berjalan. Mereka memakai perahu dan gerobak untuk menerobos banjir. Bukan untuk mereka sendiri. Juga demi menolong orang lain.

Salah satunya Akun, 48. Keluarganya terisolasi. Air di halaman rumahnya setinggi satu meter. Dia menganggap kondisi itu sudah biasa. Makanya dia seperti tak menganggap banjir sebagai beban. Bahkan dia rutin turun ke jalan.

Untuk keseran. Menerobos banjir. Untuk menyeberangkan orang lain dengan gerobak atau perahu. “Ini inisiatif warga. Dari dulu pakai gerobak. Ada perahu juga, tapi rusak bagian bawahnya,” ungkap dia saat berbincang dengan Radar Jogja.

Saat keseran Akun tak pernah pakai pelampung. Atau alat keamanan lainnya. Niatnya cuma satu. Ikhlas. Tak minta upah atau imbalan. Hanya kalau ada yang memberi imbalan atau uang dia terima. Setiap hari, saat banjir, tiap orang bisa tiga hingga lima kali keseran. “Jelas basah wong kami berendam di air. Kalau nggak kuat ya bisa masuk angin,” selorohnya.

Akun sebenarnya sudah bosan dengan banjir. Namun apa boleh buat. Infrastruktur desa belum mendukung. Untuk menahan air luapan sungai. “Semoga tahun depan sudah bebas banjir,” harapnya.

Evi Yuhana, 30, salah seorang yang merasa sangat tertolong oleh warga Gesing. Pagi itu dia bermaksud menjemput kolega di Jogjakarta. Warga Kepil, Wonosobo, itu sudah terbiasa ke Jogja melalui Purworejo. Lewat Jalan Daendels. Dia sudah mencoba lewat jalur sisi timur di perbatasan provinsi.

Macet. Karena banjir. Dia lantas ke barat lewat Jogoboyo. Pun tak bisa. Banjir juga. “Di sini (Gesing) kok ada bapak-bapak menyeberangkan motor pakai gerobak. Tentu saya sangat terbantu,” ujarnya.

Evi tak membayangkan jika harus memutar lewat Pantai Ketawang di wilayah Kecamatan Grabag, Purworejo. Jauhnya bisa berkilo-kilometer. Lewat jalur alternatif Kaligesing pun tak memungkinkan. Medannya terlalu terjal dan berbahaya. Apalagi saat hujan.

“Ngeri juga. Gerobaknya saja hampir tak kelihatan. Air cukup dalam, arusnya juga kencang,” ungkap Evi menuturkan pengalamannya menerobos banjir.(yog/mg2)