SLEMAN – Keindahan panorama Tebing Breksi terbukti mampu mengundang banyak wisatawan. Destinasi wisata di wilayah Prambanan, Sleman itu bahkan dinobatkan sebagai objek wisata baru terpopuler pada Anugerah Pesona Indonesia (API) 2017. Sejauh ini tak ada retribusi masuk objek wisata tersebut.

Padahal destinasi wisata unggulan Sleman itu sangat potensial sebagai sarana mendongrak pendapatan asli daerah. Karena itu Pemkab Sleman mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga. Draf raperda yang dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sleman disambut dengan pembentukan panitia khusus (pansus).

Ketua Pansus Raperda Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga DPRD Sleman Yani Fathu Rahman mengatakan, produk hukum tersebut hakikatnya merupakan perubahan kedua Perda Nomor 12 Tahun 2010. Perda harus diubah karena memuat poin-poin baru. Di antaranya penyesuaian tarif retribusi tempat wisata dan penambahan destinasi baru. Pada perda lama tarif retribusi sebesar Rp 2 ribu. Sedangkan dalam draf raperda perubahan diusulkan Rp 5 ribu.

Berlaku sama di objek-objek wisata baru seluruh wilayah Sleman. “Penyesuaian tarif itu sudah melalui survei konsumen dan berdasarkan kesanggupan pengelola objek wisata terkait,” ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, Jumat(29/3).

Besaran tarif baru belum berlaku mutlak. Karena sifatnya masih usulan dan belum ditetapkan. “Bisa saja lebih dari Rp 5 ribu. Masih kami bahas intenfif bersama eksekutif,” kata Yani.

Selain Tebing Breksi, retribusi wisata akan dikenakan juga bagi pengunjung Lava Bantal di wilayah Berbah dan Bukit Klangon di Glagaharjo, Cangkringan. Juga beberapa candi.

Meski penetapan retribusi telah melalui kajian akademik, survei konsumen, dan kesanggupan pengelola objek wisata, Yani mengingatkan pentingnya filosofi pengenaan retribusi. Yakni demi memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumen. “Jadi bukan semata-mata demi meraup keuntungan,” tegasnya.

Pelayanan yang dimaksud, di antaranya, perbaikan akses menuju destinasi wisata, penerangan jalan, kebersihan lingkungan, hingga ketersediaan toilet. Dalam hal ini “PR” pemerintah memastikan semua fasilitas di destinasi wisata terkait lebih baik dibanding kondisi saat ini.

Jika destinasi wisata terkait dikelola oleh masyarakat atau pemerintah desa setempat, pemerintah wajib melakukan komunikasi secara baik. Terlebih jika selama ini objek wisata yang bersangkutan memang telah dikelola masyarakat. Pemerintah harus melakukan langkah persuasif untuk membahas pengelolaan secara bersama-sama. Sesuai porsi dan kewenangan masing-masing.

Komunikasi yang baik bertujuan mencegah timbulnya konflik sosial. Sehingga ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Hubungan pemerintah daerah dengan pengelola objek wisata maupun pemerintah desa setempat harus saling menguntungkan. “Sebelum raperda ini diketok palu harus sudah ada komunikasi itu,” pinta sosok kelahiran 23 Agustus 1981.

Yani berharap, diterapkannya retribusi pada objek-objek wisata baru di Sleman akan berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Bahkan jika perlu pemerintah bisa melakukan pendampingan dan pembinaan bagi masyarakat.

Khususnya para pelaku wisata. Lebih baik lagi jika pemerintah bersedia mengucurkan bantuan modal usaha. Untuk pengembangan destinasi wisata yang berbasis masyarakat. Agar ke depan keberadaan objek wisata baru di Sleman memiliki daya tarik lebih bagi wisatawan luar daerah.(*/yog/mg2)