SLEMAN – Japanese encephalitis merupakan penyebab utama ensefalitis di Asia. Kejadiannya kurang lebih 67.000 per tahun. Ensefalitis atau radang otak adalah kondisi yang ditandai dengan munculnya peradangan pada jaringan otak akibat infeksi virus, bakteri, atau jamur.
Japanese encephalitis ada hampir di setiap negara di Asia. Japanese encephalitis disebarkan melalui nyamuk Culex yang telah terinfeksi. Kendati demikian, Japanese encephalitis tidak menular antarmanusia. Nyamuk Culex tritaeniorhynchus berkembang biak di kolam dan genangan sawah dan mengigit pada malam hari. Binatang seperti babi dan burung merupakan reservoar virus. Oleh karena itu Japanese encephalitis tidak dapat dieliminasi. Tetapi dikendalikan dengan universal human vaccination di daerah endemis.
Yang berisiko tertular Japanese encephalitis adalah orang yang tinggal di dekat persawahan. Atau jika mereka bertetangga dengan pemilik atau peternak babi.
Tak kurang tiga miliar orang saat ini diperkirakan menghadapi risiko tertular Japanese encephalitis. Mereka tinggal di 24 negara, terutama di WHO South East Asia dan Western Pacific Region.
Beberapa kasus Japanese encephalitis di Indonesia dilaporkan pada 2015. Terjadi di wilayah Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jogjakarta, Jawa Barat, dan Jakarta. Kasus terbanyak di Provinsi Bali. Itu lantaran banyaknya areal persawahan dan peternakan babi.
Untuk mengendalikan Japanese encephalitis badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan vaksin JE disatukan ke dalam program imunisasi nasional di kawasan endemis Japanese encephalitis. Namun pelaksanaannya ternyata hanya di beberapa negara Asia yang kaya.
Baru belakangan ini program pengendalian lebih merata. Setelah banyak negara melaksanakan surveilan Japanese encephalitis dan bisa memperoleh vaksin yang aman dan efektif.
Infeksi Japanese encephalitis umumnya tidak bergejala. Masa inkubasi 4-14 hari. Diikuti gejala demam tinggi secara mendadak, menggigil, sakit kepala, pegal-pegal/ nyeri otot, dan bisa disertai lumpuh layu. Gejala kejang sering terjadi pada anak-anak.
Laju kematian pada anak muda mencapai 20-30 persen. Angka kematian ini lebih tinggi pada anak. Terutama anak berusia kurang dari 10 tahun. Biarpun bertahan hidup, penderita biasanya sering mengalami gejala sisa (sekuele). Antara lain berupa gangguan sistem motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan abnormal); gangguan perilaku (agresif, emosi tak terkontrol, gangguan perhatian, depresi); gangguan intelektual (retardasi); serta gangguan fungsi saraf lain (gangguan ingatan/memori, epilepsi, kebutaan).
Tidak ada pengobatan untuk penyakit Japanese encephalitis. Sejauh ini hanya ada pengobatan suportif. Satu-satunya cara pencegahan adalah vaksinasi.
Tahun 2013 FDA ( Food and Drug Administration) mengeluarkan lisensi vaksin Japanese encephalitis dapat diberikan pada anak usia 2 bulan sampai 16 tahun. Dosis vaksin primer adalah 2 kali suntikan dengan jarak minimal 28 hari untuk anak 2 bulan sampai 2 tahun. Dosisnya 0,25 ml. Sedangkan untuk anak dibawah sampai dengan 3 tahun dosisnya 0,5 ml.
Program Imunisasi Japanese Encephalitis di Indonesia
Pelaksanaan kampanye imunisasi Japanese encephalitis dilaksanakan dengan menyasar anak usia 9 bulan sampai 15 tahun. Dilakukan di seluruh Provinsi Bali pada 2017. Selanjutnya program imunisasi Japanese Encephalitis dimasukkan dalam imunisasi dasar pada anak usia 9 bulan.
Vaksin Japanese Encephalitis yang digunakan merupakan virus hidup yang dilemahkan. WHO merekomendasikan pemberian dosis tunggal vaksin Japanese Encephalitis di area endemis. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. Vaksin Japanese Encephalitis direkomendasikan untuk wisatawan yang akan tinggal selama lebih dari 1 bulan di daerah endemis. (*/yog/fj)