PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) sebagai ”ritual” tahunan sekolah tak luput dalam sorotan kacamata media. Termasuk PPDB tahun pelajaran 2019/2020 untuk berbagai jenjang pendidikan (tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK) yang mulai bergulir dan menelurkan kebijakan kontroversial. Berefleksi pada sistem PPDB di Indonesia yang selama ini, selalu saja diwarnai dengan sengkarut regulasi yang selalu berubah. Tidak ada lagi sistem seleksi masuk berbasis tes tertulis untuk masuk ke sekolah negeri. Tidak ada lagi kuota dengan penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ‘abal-abal’ yang menambah sengkarut PPDB saat itu. Sebagai gantinya yaitu sistem PPDB berdasarkan zona wilayah tempat tinggal siswa atau yang sejak tahun 2018 lalu dikenal dengan sistem zonasi.

Meski ini adalah tahun kedua diterapkannya sistem zonasi namun ada beberapa modifikasi. Jika di tahun 2018 Permendikbud RI 14/2018 mensyaratkan nilai USBN/UN sebagai syarat masuk maka pada tahun 2019 hal ini dimentahkan oleh Permedikbud RI 51/2018. Pada pasal 6 Permendikbud RI 51/2018 ditegaskan bahwa PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali. Rinciannya 90 persen kuota minimal siswa yang wajib diterima lewat jalur zonasi, jalur prestasi di luar zona kuota maksimal 5 persen, dan jalur perpindahan tugas orangtua/wali kuota maksimal 5 persen.

Dengan kuota terbanyak 90 persen artinya siswa yang berdomisili dekat dengan sekolah memiliki peluang lebih besar untuk diterima dibandingkan siswa yang bernilai baik namun domisilinya jauh dari sekolah. Hal ini juga mengindikasikan kecilnya peluang siswa masuk sekolah dengan grade unggul ”favorit” meskipun memiliki nilai bagus dikarenakan faktor jarak rumah dan sekolah. Kuota 5 persen jalur prestasi harus diperjuangkan oleh mereka yang benar-benar menginginkan masuk sekolah idaman.

Setiap kebijakan pendidikan tak terkecuali pemberlakukan sistem zonasi oleh pemerintah tentulah memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebetulnya lewat sistem zonasi, pemerintah menaruh harap pada sekolah negeri, kualitas siswa baru yang menonjol akan dapat terdistribusi di semua wilayah sesuai tempat tinggal mereka. Sekolah akan mendapatkan bibit siswa dengan yang memiliki nilai UN rendah hingga tinggi. Pemerataan akses layanan dan kualitas pendidikan sehingga tidak ada ketimpangan di kota maupun daerah. Sistem zonasi juga dimaksudkan membuat siswa lebih ”sosialis” tanpa hadirnya sistem kasta dalam berinteraksi dengan temannya yang beragam latar belakang dan kemampuan akademik.

Menjadi tantangan bagi sekolah berlabel ”favorit” yang dulu dengan mudahnya mendapatkan bibit siswa unggul, kepala sekolah dan guru harus memutar otak. Tentulah kebijakan ini tak mudah dilakukan secara maksimal seperti ekspektasi pemerintah tanpa dukungan dan kerja keras semua stakeholder.

Penerapan sistem zonasi ini pun berimbas signifikan pada etos siswa. Etos belajar dan etos berprestasi untuk berpacu meraih nilai tinggi dalam UN saja sudah turun drastis sejak adanya kebijakan UN bukan penentu utama kelulusan. Hal ini diperparah lagi dengan terbentuknya anggapan dan mindset siswa bahwa memperoleh nilai UN tinggi tidak terlalu penting karena yang lebih penting dalam memilih sekolah jenjang lanjutan adalah jarak sekolah dan rumah. Banyak siswa yang berharap pada radius zona ketimbang nilai yang didapat.

Siswa dan orangtua akan memendam sedalam-dalamnya keinginan masuk di sekolah ”favorit” di luar zona, terkecuali jika termasuk salah satu kategori yang lima persen berprestasi atau yang lima persen karena faktor perpindahan tugas orangtua/wali. Hal ini menjadi semacam belenggu bagi siswa untuk berprestasi. Sebuah realitas yang jelas-jelas dirasakan imbasnya oleh stakeholder pendidikan terbawah yakni sekolah, guru, dan orangtua siswa. Hal ini pula yang penulis rasakan sebagai seorang praktisi dunia pendidikan.

Reformasi pendidikan sangat diperlukan. Walaupun sistem zonasi dapat dikatakan sebagai bagian awal reformasi pendidikan namun saat ini penulis menaruh harapan dunia pendidikan membutuhkan kebijakan yang konsisten, berkelanjutan, dan dapat dijalankan secara maksimal. Siswa sekolah negeri produk zonasi tak akan menjadi ‘produk andalan’ pemerintah bila tanpa ada real act (aksi nyata). Hal inilah yang menjadi peran strategis seorang guru yakni guru harus menjadi guru yang kreatif-inovatif dalam melakukan kegiatan pendidikan yang inspiratif dan bermakna sehingga dapat menggali potensi yang dimiliki masing-masing siswa. Selain itu, siswa sebagai subjek utama yang terdidik harus memiliki niat dan etos berprestasi dan mengembangkan diri. Semua dilakukan demi mewujudkan peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Indonesia. Semoga. (ila)

*Penulis merupakan guru pada MTs Darul Ishlah Sukorejo, Kabupaten Kendal dan Fasilitator pada Program PINTAR Tanoto Foundation Regional Jawa Tengah