Operasi militer Sultan Agung Hanyakrakusuma menginvansi ke beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat meraih sukses besar. Mataram menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Minus Banten dan Batavia. Kasultanan Banten sejak lama menjadi rival Mataram. Sedangkan Batavia berada di bawah penguasaan VOC.
Di barat, Kasultanan Cirebon telah lama menjadi mitra yang loyal. Salah satu permaisuri Sultan Agung asalnya dari kasultanan tersebut. Selain Cirebon, kekuasan Mataram meluas hingga Karawang dan Sumedang.
Ke timur, Mataram berhasil melumpuhkan Wirasaba, Lasem, Pasuruan, Tuban, dan Blambangan. Disusul Madura dan Surabaya. Operasi militer berlangsung sejak 1614. Tepatnya setahun setelah Sultan Agung bertakhta.
Operasi militer terus berjalan hingga 1624. Sebagian besar tentara Mataram adalah buruh dan petani yang dimobilisasi. Mereka dipersenjatai. Mobilisasi biasa diadakan pada musim kemarau.
Dari banyak daerah di timur yang susah ditembus adalah Kerajaan Surabaya. Saking sulitnya, operasi penyerbuan Mataram berlangsung hingga tiga kali. Kegagalan menundukan Surabaya pernah dialami Panembahan Hanyakrawati, ayah Sultan Agung.
Surabaya baru menyerah ke Mataram pada 1625. Meski menjadi bawahan Mataram, Sultan Agung menerapkan kebijakan yang lunak. Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya, dibiarkan berkuasa di daerahnya. Bahkan Pekik diundang secara khusus datang ke ibu kota Mataram di Kerta pada 1628.
Tumenggung Sepanjang yang menjadi bupati bawahan Mataram di Surabaya diberi tugas mengawal Pekik pergi ke Mataram. Selama Kadipaten Surabaya kosong, Tumenggung Alap-Alap ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) bupati Surabaya. Tugasnya menjaga pemerintahan tetap berjalan dengan baik.
Rombongan Pekik sempat singgah di Butuh, Surakarta. Saat bermalam di makam Raja Pajang Sultan Hadiwijaya, Pekik mendapatkan wangsit. Salah satu cucunya akan berkuasa di Mataram. Gelarnya Hamangkurat atau Amangkurat. Sang cucu itu membangun keraton di hutan Wanakerta, barat Pajang. Cucu Pekik itu bergelar Hamangkurat II atau Amangkurat Amral.
Sampai di Kerta, Pekik diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung. Dia diminta menetap di Mataram. Pekik menempati kediaman yang kemudian disebut Ndalem Kasurabayan.
Tak lama kemudian, Sultan Agung menganugerahkan adik kandungnya, Ratu Pandansari, menjadi istri Pekik. Di mata Sultan Agung, Pekik punya garis keturunan yang tinggi. Dia masih keturunan ketujuh Raden Rahmat. Atau Sunan Ampel.
Perkawinan politik antara Mataram dengan Surabaya mengingatkan kisah kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati, saat menaklukkan Kadipaten Madiun. Putri Madiun Retno Dumilah ditaklukkan dengan cara dinikahi.
Hubungan Sultan Agung dengan Pekik tak sebatas kakak ipar. Keduanya kemudian besanan. Putra Mahkota Mataram Raden Mas (RM) Sayidin menikah dengan putri Pekik dari istri terdahulu. Sebelum menikahi Ratu Pandansari.
Sayidin kemudian menggantikan ayahnya. Bergelar Susuhunan Hamangkurat Agung atau Amangkurat I. Perkawinan Amangkurat I dengan putri Surabaya melahirkan Amangkurat II. Dengan begitu, Amangkurat II merupakan cucu Sultan Agung dan Pekik.
Sesuai wangsit yang diterima di Butuh, cucu Pekik, Amangkurat II, memindahkan ibu kota Mataram dari Kerta ke Kartasura pada 1680. Kartasura menjadi ibu kota Mataram ketiga setelah Kotagede dan Plered. Dinasti Mataram bertakhta di Kartasura dari 1680-1743.(yog/rg/bersambung)