KEKALAHAN dua kali pasukan Mataram dari VOC membawa implikasi luas. Mataram dilanda berbagai krisis. Mataram mengalami krisis multidimensi. Mulai politik, ekonomi meluas menjadi krisis kepercayaan. Terutama terhadap kepemimpin Sultan Agung.
Krisis ekonomi dipicu kebijakan Sultan Agung. Operasi militer ke Batavia pada 1628 dan 1629 menguras anggaran pendapatan dan belanja Mataram (APBM) . Kas negara menipis. Ditambah, ekspor beras, gula Jawa, dan produk pertanian lainnya tekor. Kosongnya kas itu ditutup menteri keuangan Mataram dengan cara menaikan pajak dan upeti. Beban rakyat menjadi berat. Kehidupan semakin susah.
Di sisi politik, Sultan Agung menerapkan hukum yang dinilai tebang pilih. Terhadap pejabat yang gagal saat operasi militer pertama pada 1628 dikenakan hukuman keras. Mereka dihukum mati. Ditebas lehernya.
Korbannya antara lain cucu Ki Juru Mertani. Yakni Tumenggung Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Juru Mertani adalah tokoh legendaris Mataram. Figurnya sangat dihormati. Namun keturunannya mendapatkan perlakuan tak adil. Rakyat bersimpati luar biasa.
Sebaliknya, terhadap Tumenggung Singaranu, raja menerapkan hukum berbeda. Operasi militer kedua pada 1629 juga gagal. Namun Singaranu sebagai komandan diampuni. Posisinya di istana tidak diutik-utik.
Akibatnya, kegelisahan rakyat makin luas. Kondisi itu rupanya dibaca kelompok-kelompok yang kritis terhadap Mataram. Antara lain ulama-ulama dari Tembayat, Klaten. Mereka keturunan Sunan Pandanaran. Sejak lama Tembayat tidak begitu disukai rezim Mataram. Mereka lebih berkiblat pada Kasultanan Pajang yang berkuasa sebelum Mataram.
Ulama Tembayat atau Sunan Bayat menganggap secara spiritual lebih tinggi dari raja Mataram. Ini karena raja-raja Jawa mendapatkan kekuasaan setelah mendapatkan legitimasi ulama. Contohnya Sultan Hadiwijaya. Raja Pajang ini berkuasa berkat dukungan Sunan Bayat dan Sunan Prapen dari Giri. Begitu pula raja-raja Mataram. Mereka berutang budi pada Sunan Kalijaga dan Sunan Giri.
Karena itu, ulama-ulama dari Tembayat itu memelopori gerakan menentang raja. Sudah saatnya Sultan Mataram diganti. Ide gerakan Ganti Sultan itu mengemuka saat syawalan di daerah Taji, Prambanan.
Syawalan itu sekaligus menjadi ajang reuni. Pesertanya dari berbagai daerah. Rata-rata alumni Tembayat. Sebagian lagi datang dari Giri Kedhaton. Para ulama itu menilai Sultan Agung terlampau ambisius memperluas daerah kekuasaannya.
Sebelumnya, mereka juga melakukan jajak pendapat bertanya kepada rakyat. Caranya dengan menyamar sebagai pengemis. Mereka membujuk rakyat agar memihak kelompok ini. Konsolidasi kekuatan Ganti Sultan itu berpusat di 27 desa sekitar Prambanan.
Sebelum gerakan itu membesar telah tercium badan telik sandi Mataram. Sultan Agung memerintahkan Kepala Bhayangkara Mataram Pangeran Purbaya menangkap ulama-ulama dari Tembayat. Mereka langsung ditahan dan dikenakan pasal makar.
Penangkapan terhadap ulama Tembayat itu mengundang reaksi keras. Meredam aksi-aksi itu Sultan Agung memutuskan mengadakan pendekatan ke Tembayat. Sultan Agung melakukan ziarah ke makam Sunan Tembayat.
Kunjungan raja Mataram itu dinilai langka. Sebab, Tembayat tidak mendapatkan tempat istimewa di mata Mataram. Makam Sunan Tembayat lebih banyak mendapatkan perhatian dari orang-orang kecil, pedagang, dan perajin. Bagi Sultan Agung kunjungan ke makam keramat itu merupakan pengorbanan harga diri dan dilakukan karena keterpaksaan.
Usai kunjungan itu Sultan Agung memerintahkan diadakan pemugaran makam. Gapura dan beberapa bangunan pendapa dibangun. Kondisi makam Tembayat diperindah. Kontraktor dan para pekerjanya khusus didatangkan dari Mataram.(yog/fj/bersambung)