GUNUNGKIDUL – Musim kemarau telah melanda Kabupaten Gunungkidul. Kemarau tahun ini datang lebih awal. Akibatnya beberapa kecamatan kini telah mengalami kekeringan sehingga air menjadi barang langka.

Sejak pekan lalu, ACT DIY mulai menyalurkan bantuan air bersih untuk mengurangi dampak kekeringan yang semakin parah, ACT mengirimkan 50 ribu liter air bersih ke dua kecamatan, Girisubo dan Rongkop di Gunungkidul. Di dua kecamatan ini, air bersih didistribusikan ke empat desa yang mengalami dampak terparah kekeringan serta masyarakat ekonomi prasejahtera.

Guna memudahkan pengiriman air ke empat Desa Balong, Melikan, Nglindur, dan Tileng, ACT menggunakan truk tangki yang dapat membawa lima ribu liter air sekali jalan. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Tim Program ACT DIY Kharis Pradana.

”Air dipindah ke tandon yang telah disediakan di masing-masing desa, atau warga datang membawa ember untuk diisi air,” kata Kharis.

Sebanyak 520 warga menikmati bantuan air bersih tersebut. Sukiyem, 85, salah satu warga yang ikut mengantri menyampaikan ucapan terima kasih bersama rasa syukur karena telah dapat menggunakan air bersih yang diberikan untuk mandi, minum, dan lainnya selama beberapa waktu ke depan.

Sebelumnya, untuk mendapatkan sumber air bersih, warga harus ke desa lainnya yang jaraknya cukup jauh. Di sumber mata air tersebut menjadi salah satu titik mata air yang masih mengalir. Akibatnya tak sedikit masyarakat antre untuk mendapatkan air, termasuk truk-truk tangki yang berjajar mengantri berjam-jam untuk dapat mendapatkan air bersih. ”Saat mereka dapat jatah air bersih, mereka sangat bersyukur dan berterima kasih,” ungkap Kharis.

Sementara itu, berdasarkan keterangan dari Kepala Cabang ACT DIY Bagus Suryanto menyampaikan, puncak musim kemarau tahun ini ada di bulan Agustus. ”Insyaallah dari lembaga kita targetkan 500 tangki air bersih untuk membantu warga yang kesulitan mendapatkan air di Gunungkidul,” ujar Bagus (2/7).

Dampak kekeringan di Gunungkidul tak hanya berdampak pada masyarakat saja, tapi juga lahan garapan pertanian. ”Ribuan hektare lahan padi terancam mengalami puso di awal kemarau, air untuk kebutuhan konsumsi juga sulit didapatkan,” jelas Kharis.

Sejak musim kemarau yang datang lebih awal ini, masyarakat di Girisubo dan Rongkop sudah mengantisipasi sawah yang sebelumnya ditanami padi, kini berganti palawija. Ketersediaan air serta pola kekeringan yang telah biasa masyarakat Gunungkidul alami menjadi alasan mengganti tanaman ini.

Penggantian tanaman dari padi ke palawija ini tak dilakukan semua petani di dua kecamatan itu. Sebagian lahan masih ditanami padi, lahan ini menggunakan sistem tadah hujan. Namun, ada juga sebagian lahan yang dibiarkan kosong selama kemarau berlangsung. (*/ila)