JOGJA – Bupati terpilih di Sleman, Bantul dan Gunungkidul, hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 nanti, hanya akan menjabat selama empat tahun. Pemprov DIJ pun pada 2022 harus menyiapkan dua Penjabat untuk Wali Kota Jogja dan Bupati Kulonprogo hingga 2024.
Itu sesuai dengan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Dalam pasal 201 ayat (7) yang bunyinya “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”.
Kemudian dalam ayat 9, mengatur tentang kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan 2023 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui Pemilihan serentak nasional pada 2024.
Ketua Divisi Teknis KPU DIJ Moh Zaenuri Ikhsan mengatakan, dalam UU tersebut disebutkan gelaran Pilkada digelar secara serentak pada 2024. Saat ini Pilkada digelar serentak dalam dua tahap, yakni pada 2020 dan 2022. “Pilkada 2020 tetap digelar pada tahun 2020, sedangkan Pilkada serentak 2022 diundur dua tahun, yakni pada 2024,” kata dia Jumat.
Di DIJ, ada tiga kabupaten yang menggelar Pilkada 2020 yakni Kabupaten Sleman, Bantul dan Gunungkidul. Sedangkan Pilkada Kota Jogja dan Kabupaten Kulon Progo yang sedianya digelar pada 2022 diundur menjadi 2024.
Ikhsan menambahkan, berdasarkan UU tersebut, kepala daerah hasil Pilkada 2020, masa jabatannya hanya empat tahun. Sedang imbas Pilkada 2022 yang diundur pada 2024, ada kekosongan kepala daerah. “Untuk mengisi jabatan yang kosong, ada Penjabat kepala daerah selama dua tahun,” ungkapnya.
Mantan Ketua KPU Gunungkidul ini mengungkapkan, rencana Pilkada serentak seluruh Indonesia dalam satu tahap pada 2024 ini, berdasarkan UU nomor 10 tahun 2016 tidak sama dengan Pemilu serentak 2024. Pilkada serentak digelar pada November 2024. Sedang pemilu Presiden dan legislative 2024 digelar April. “Tidak bersamaan, tidak serentak (antara Pemilu dan Pilkada). Kalau dibuat serentak, saya usul UU-nya diubah dulu,” ujar Ikhsan.
Terkait masa jabatan kepala daerah nanti yang hanya empat tahun, pengamat politik dan pemerintahan UGM Mada Sukmajati menilai menjadi tantangan bagi kepala daerah terpilih. Menurut dia itu menjadi tuntutan kemampuan kepala daerah dalam merumuskan program-programnya selama empat tahun. “Kalau soal cukup atau tidak, ya itu relatif. Kalau orientasinya hanya melulu kekuasaan, ya bakal gak cukup empat tahun. Mungkin lima tahun juga bakalan tidak cukup,” tuturnya saat dikonfirmasi tadi malam.
Tapi Mada sendiri menilai jika Pemilu lokal dan nasional dibarengkan tidak masuk akal. Idealnya, kata dia, dibuat jeda waktu setiap 2,5 tahun antara pemilu lokal dan nasional. Pemilu lokal itu Pilkada dan DPRD provinsi dan kabupaten atau kota. Sedang pemilu nasional Pilpres, DPR RI dan DPD. “Tapi kalau menurut saya langsung makbruk semuanya bareng ya tidak masuk akal,” tegasnya.
Pihaknya sendiri masih mensimulasikan karena juga berkaitan dengan cuaca. Misalnya kata dia, musim hujan yang tidak seharusnya dilaksanakan pemilu karena berkaitan dengan pengiriman logistik, dan lain-lain. Dia mencontohkan di Amerika Serikat yang telah menerapkan pemilu sela. Sebagian anggota kongres dan senat berbeda masa kekuasaannya dengan sebagian yang lain.
“AS sudah jelas waktunya, pemilu Presidan dan pidato harus dilakukan kapan,” ungkapnya.
Di AS pun, lanjut dia, juga menerapkan empat tahun masa jabatan dimana setiap dua tahun berikutnya juga melaksanakan pemilu.”Apakah kita akan mengadopsi itu, nah itu bisa menjadi pilihan,” tuturnya. (cr15/pra/by)