JOGJA – Sudah ke empat kalinya Indonesia Space Science Society (ISSS) bersama v.u.f.o.c lab menggelar Konferensi Internasional SETI (Search for Extra-Terrestrial Intelegence) di Jogjakarta.
Bekerja sama dengan Lembaga Indonesia Perancis, IFI-LIP, Kedutaan Besar Perancis, serta program Doktor (S3) Kajian Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma (USD) Jogjakarta. Konferensi ini digelar 20-21 Juli. Bertepatan dengan peringatan 20 tahun HONF Foundation, laboratorium yang bergerak dalam bidang seni, sains dan teknologi yang menaungi kegiatan ini.
Direktur HONF Foundation Venzha Christ menjelaskan, tujuan dari Konferensi Internasional SETI ini untuk menyatukan berbagai bidang khususnya astronomi, antariksa dan sains dengan seni.
”Masalah yang susah adalah meyakinkan bagaimana orang yang dari perspektif lain bisa bergabung membicarakannya,” ungkapnya saat temu media di IFI LIP, Jumat (19/7).
Konferensi Internasional SETI tahun ini diselenggarakan selama dua hari, biasanya hanya satu hari. Venzha mengatakan, karena tamu tahun ini lebih banyak, dan penyelenggara mencoba memisahkan topik space sains dan komunitas UFO.
”Ada banyak sekali komunitas yang melakukan riset di bidang extra terestrial, tidak melulu UFO tapi misalnya luasnya alam semesta ini, ada kandidat planet lain tidak selain bumi, the second earth itu apa sih, misalnya,” bebernya.
Pembicara merupakan ahli dalam hidang aerospace maupun astrofisika seperti Ilham Habibie (The Habibie Center), Premadi W. Premana (Institut Teknologi Bandung-ITB dan Observatorium BOSSCHA), Yusuke Murakami (MARS Society), dan salah satu pakar dari Laboratoire d’Astrophysique de Marseille (LAM) yakni Frederic Zamkotsian.
Dalam kegiatan ini diharapkan hasil riset para peneliti dan komunitas bisa dibaca untuk publik dan dipahami. Termasuk mendiskusikan perdebatan tentang luar angkasa.
”Intinya ingin membagi pengetahuan yang berkembang, menularkan persepsi masyarakat hubungan antara seni dan sains,” ujar Venzha.
Menurut Frederic Zamkotsian, seni dan sains memiliki kesamaan. Yakni sama-sama berawal dari imajinasi manusia yang kemudian direalisasikan. Selaras dengan Frederic, peneliti fisika matahari LAPAN Jogja Agustinus Gunawan menambahkan, sains memiliki keterbatasan pada data. Sedangkan seni mengacu pada pemikiran manusia.
”Interaksi dari kedua bidang inilah yang diharapkan bisa memberi sumbangan pada masyarakat untuk bisa memahami sains dan seni,” ungkapnya. (tif/ila)