Sosok GBPH Cakraningrat memiliki kesan tersendiri bagi saudara-saudaranya. Dikenal kalem, humoris, tapi tegas. Inilah yang terekam saat trah Mataram mengantarkan jenazahnya di Makam Hasto Renggo Kotagede.

DWI AGUS, Jogja

SUASANA kediaman GBPH Prabukusumo di Alun-Alun Selatan mendadak ramai. Beberapa pria dan perempuan mengenakan pakaian serba hitam hilir mudik. Hari itu menjadi penghormatan terakhir bagi GBPH Cakraningkat.

Dia adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari garwa Kanjeng Ratu Ayu (KRAy) Ciptomurti.

Kabar meninggalnya telah beredar sejak dini hari Senin (22/7). Pemilik nama kecil RM Prasasto berpulang di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat Minggu (21/7) pukul 20.38.

Mobil yang mengangkut jenazah GBPH Cakraningrat sampai di Ndalem Prabukusuman pukul 12.01 Senin. Istri almarhum, BRAy Laksmi Indra, beserta rombongan hadir lebih dulu sekitar pukul 10.57.

Dengan sigap para abdi dalem, polisi, TNI, dan warga setempat mengiringi jenazah ke dalam rumah GBPH Prabukusumo itu, kakak Cakraningrat. “Saya dapat kabar dini hari tadi (Senin) sekitar pukul 02.39 kalau Dimas Cakra berpulang. Saat itu saya masih di Sumatera Barat dan langsung pulang tadi pagi (Senin),” ungkap Prabukusumo di Makam Hasto Renggo Kotagede.

Ketua PMI DIJ ini mengetahui sang adik sakit sejak setahun lalu. Namun, dia tak menyangka hingga terjadi komplikasi. Awalnya dia hanya mendapatkan informasi Gusti Cakra mengalami sakit pada kakinya.

Pernah pula berobat dan dirawat selama tiga bulan di Singapura. Tapi akhirnya pulang lagi ke Jakarta untuk melanjutkan pengobatan.

Satu hal yang Gusti Prabu ingat dari sosok almarhum adalah kecintaannya pada kuliner enak.

“Beliau itu suka makan enak terus. Dhahar eco. Padahal kan harus selang seling agar sehat,” kenangnya.

Gusti Cakra juga memiliki kecintaan pada batik. Bersama sang istri, Gusti Cakra bergabung dengan Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad. “Kalau kami (putra HB IX) sudah dibiasakan batik sejak kecil. Terutama jarikan. Tapi Dimas (Cakraningrat) memiliki kecintaan yang lebih,” kata Gusti Prabu.

Ingatan kuat akan sosok almarhum juga terpatri di benak KRT Jatiningrat. Pria yang akrab disapa Romo Tirun ini menilai saudaranya sebagai sosok yang tegas. Terutama saat menjalani tugasnya sebagai penghageng tepas danartapura Keraton Jogjakarta.

Sebagai bendahara keraton, almarhum Cakraningrat tergolong teliti. Apalagi dia berlatar belakang sarjana ekonomi. Satu pesan Gusti Cokro yang selalu diingat Romo Tirun hingga saat ini. Agar dia mengelola dana keistimewaan dengan baik.

“Danais (dana keistimewaan) agar ditangani dengan serius, baik, dan bertanggung jawab,” ungkap Romo Tirun menyitir pesan Gusti Cokro.  “Harus dikelola dengan baik karena itu uang rakyat yang dipercayakan kepada Keraton Jogjakarta,” sambungnya.

GBPH Cakraningrat lahir di Jakarta 17 Oktober 1959. Pensiun sebagai penghageng tepas danartapura sekitar 1,5 tahun lalu. Kondisi kesehatan yang terus menurun menjadi salah satu penyebabnya.

“Hubungan keluarga dengan seluruh trah tetap terjaga baik. Beliau tetap mengabdi untuk keraton,” jelasnya.

Irjen Pol (Purn) Haka Astana Mantika Widya turut bersedih atas kepulangan Gusti Cokro menghadap Sang Khalik. Sedari pagi mantan Kapolda DIJ itu telah berada di Ndalem Prabukusuman. Selain menyambut tamu, sekaligus menunggu kedatangan rombongan mobil jenazah GBPH Cakraningrat.

Bagi Haka, sosok Gusti Cakra adalah pria humoris. Bahkan trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini mengaku sudah klop. Saat bertemu kerap melontarkan candaan untuk mencarikan suasana. Bahkan saat tugas resmi sekalipun.

Seperti ketika mereka pergi bersama ke Cirebon. Untuk melihat proses dan hasil batik di wilayah tersebut. Di situlah Haka semakin mengenal sosok Cakraningrat. Memiliki komitmen tinggi akan seni budaya, namun tetap membumi. “Beliau cerita waktu kecil pernah diplekotho sama Mas Prabu (GBPH Prabukusumo) dan Mas Yudha (GBPH Yudhaningrat),” kisahnya. “Beliau diajak ke Kesatrian malam hari, tapi malah ditinggal pergi. Padahal kondisi di sana itu gelap dan sepi,” sambung Haka.

Gusti Cakra juga dikenal sebagai sosok yang menjaga silaturahmi. Gemar srawung dengan sanak saudara. Tak hanya dengan trah Hamengku Buwono IX. Tapi juga trah Hamengku Buwono yang lain. Gusti Cakra juga kerap menghadiri syawalan trah Hamengku Buwono VII.

Haka mendengar kabar Gusti Cakra sakit sejak setahun lalu.  Haka juga sempat menengok Gusti Cakra saat dirawat di rumah sakit.  “Lebaran lalu saya kirim ucapan 5 Juni, tapi tidak berbalas. Ternyata beliau sudah tidak pegang handphone lagi. Semoga dengan kepergian beliau, semangatnya tetap bisa kita tanamkan,” tutur Haka. (yog/rg)