E-VOTING menjadi pilihan logis dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) di wilayah Kabupaten Sleman. Itu demi menjamin transparansi, efisiensi, dan efektivitas proses pilkades. Juga sesuai dengan visi bupati Sleman dalam mewujudkan smart regency.
Kendati demikian, sejauh ini masih ada beberapa persoalan krusial terkait rencana pelaksanaan pilkades serentak. Dibutuhkan payung hukum yang bisa menaungi kepentingan banyak pihak.
Menyangkut e-voting dan perhelatan pilkades serentak tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sleman Nomor 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Raperda tersebut kini masih digodok bersama oleh tim hukum pemerintah daerah dan Panitia Khusus (Pansus) Raperda Pemilihan Kepala Desa DPRD Sleman. “Prinsip kami mendukung pelaksaan pilkades dengan e-voting,” ujar Wakil Ketua Pansus Raperda Pemilihan Kepala Desa DPRD Sleman Aris Suranto Kamis (25/7).
Kebijakan e-voting sangat berkaitan dengan rencana pilkades serentak kali ini.
E-voting sangat tergantung dengan kemampuan keuangan daerah. Terutama untuk pengadaan alatnya. Menurut Aris, Pemkab Sleman mampu. Hanya, momentumnya tidak tepat. Jika pilkades serentak dengan e-voting digelar tahun ini. Sebab, pelaksanaannya akan bersamaan dengan akhir masa jabatan 33 kepala desa. Dari total 86 kepala desa se-Sleman. Yakni pada September-Oktober mendatang. Sementara masih ada dua jabatan kepala desa yang kosong karena habis masa kerjanya sejak 2018. Ditambah lagi 14 jabatan kepala desa yang habis masa kerjanya pada 2020.
Padahal, pilkades di Sleman hanya menyisakan satu kali pelaksanaan lagi. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Pasal 2 menyebutkan, pemilihan kepala desa dapat dilakukan serentak satu kali atau bisa juga secara bergelombang. Sedangkan pasal 4 ayat (2) menjelaskan bahwa pemilihan kepala desa secara bergelombang dilaksanakan paling banyak tiga kali dalam jangka waktu enam tahun. Sedangkan ayat (3) mengatur pelaksanaan pilkades dilakukan dengan interval waktu paling lama dua tahun. Dalam hal ini, di Sleman telah digelar pada 2015 dan 2017. Merujuk Permendagri 112/2014, maka pilkades terakhir harus digelar 2019. “Tapi belakangan ketentuan itu (interval waktu pelaksanaan pilkades, Red) direvisi,” ungkap Aris. Pilkades tetap digelar tiga kali dalam enam tahun, namun tidak ada ketentuan interval waktu. Hasil revisi itulah yang kemudian menjadi acuan perda pemilihan dan pemberhentian kepala desa di Sleman, yang berlaku saat ini. “Nah, ini masalah utamanya,” tambahnya.
Kebijakan itu kini menimbulkan polemik. Sebab, sisa jatah pelaksanaan pilkades tak lagi harus digelar 2019. Tapi, bisa diundur tahun depan. Sekaligus untuk memfasilitasi 14 desa yang jabatan kepala desanya habis pada 2020. “Kalau jatah pilkades yang tinggal sekali pelaksanaan itu digelar tahun ini, lantas bagaimana yang 2020,” ucapnya.
Aris menguraikan, jabatan kepala desa yang habis 2018 telah diisi oleh penjabat sementara (Pj). Pun demikian bagi 33 jabatan kepala desa yang habis tahun ini. Juga bisa diisi dengan Pj. Itu dengan catatan pilkades serentak digelar pada 2020. Sehingga seluruh jabatan kepala desa yang kosong bisa diisi sekaligus lewat e-voting.
Menurut Aris, langkah itu pilihan paling logis. Juga sesuai kajian dan saran tim ahli dari Universitas Gadjah Mada. Yakni dengan mengundur pelaksanaan pilkades serentak. Dari yang telah ditetapkan tahun ini. Digeser pada medio Maret-April 2020. “Kalau mundur, secara hukum tak masalah. Yang jadi masalah itu kalau maju (pilkades digelar 2019, Red). Karena berarti memotong masa jabatan kepala desa yang berakhir 2020,” papar politikus Partai Amanat Nasional asal Dusun Gondang, Donokerto, Turi, itu.
Sekali lagi Aris menegaskan, memenggal masa jabatan kepala desa, secara hukum tidak boleh. Itu juga akan menuai masalah di belakang hari. Terutama bagi petahana. “Otomatis mereka kan harus mengundurkan diri. Lha kalau petahana mau ikut pilkades lagi kan jadi lucu. Ini rawan diprotes warga,” ungkap sosok 38 tahun itu.
Hingga Kamis belum ada titik temu tentang jadwal pilkades serentak tersebut. Apakah tetap dihelat tahun ini. Atau diundur 2020. Oleh sebab itu, Pansus Raperda Kepala Desa akan mengonsultasikan hal itu ke Kementerian Dalam Negeri. Meskipun secara normatif, menurut Aris, pelaksanaan pilkades tetap menjadi kewenangan bupati. “Secepatnya kami akan minta arahan pusat,” katanya.
Aris optimistis, pansus bisa menyelesaikan pembahasan raperda sebelum akhir masa jabatan dewan pada 12 Agustus mendatang. Di sisi lain, Aris berharap, alat e-voting bisa segera disimulasikan bagi panitia pilkades. Agar pelaksanaan pilkades serentak, baik digelar 2019 atau 2020, bisa berjalan lancar.(*/yog/rg)