Menggali pasir pantai. Sampai air mengalir. Anehnya. Meski berada di pantai  bersentuhan langsung dengan air laut. Mencicipi air dari kubangan hasil kerukan.  Rasanya tawar. Masyarakat lokal yang tinggal di desa pesisir pantai Sumenep memiliki kebiasaan mandi menggunakan air tawar. Keunikan ini menjadikan desa  dinamai Air Tawar.

Sore itu. Kami menemani Mahwi. Menyeruput air tawar.  Setelah merasakan segarnya air tawar. Kami mandi di pantai.  Aktifitas  tersebut. Seperti mengungkap masa lalu. Kebiasaan yang dilakukan saat Mahwi masih bocah. Alam mendidiknya akrab dengan pesisiran. Anak-anak di sana. Dekat dengan kehidupan nelayan. Merajut jaring. Kapal penangkap ikan. Aroma ikan segar bertebaran. Menjadi bagian dari keseharian.

Bagi Mahwi kecil dan teman-temannya. Buku. Pensil. Merupakan barang  mewah. Kalau Mahwi memegang pensil. Membaca buku. Orang tua. Tetangga kiri dan kanan. Anak-anak lain. Akan mengejek Mahwi. Tidak pantas. Anak nelayan memegang pensil dan buku. Barang ini hanyak elok digunakan oleh para pejabat elit desa dan keluarganya.

Hebatnya Mahwi tak mengikuti arus. Mahwi tumbuh dan berkembang sebagai anak nelayan yang berbeda dari anak-anak lain. Dirinya mampu keluar dari lingkaran kebiasaan yang terus berlangsung secara turun temurun.

Bagi Mahwi. Buku. Pensil. Bukan hanya milik orang gedongan. Tapi Mahwi yang anak nelayan pun, berhak memegang pensil dan membaca buku. Dia tak peduli  cemooh orang di sekitarnya. Kegemarannya pada literasi waktu kecil ditunjukkan dengan selalu membaca kertas koran bekas pembungkus makanan.

Mahwi beruntung.Kegemarannya membaca terus berlangsung. Ayahnya memasukkan Mahwi ke pondok pesantren. Di ibu kota kabupaten. Tempat Mahwi mondok. Tersedia perpustakaan sebagai tempat favorite menghabiskan waktu untuk membaca.

Selain merawat kebiasaan sebagai kutu buku. Tradisi pesantren.Diantaranya membaca, menghafalkan, dan mendalami ayat-ayat ilahi mengantarkan Mahwi menekuni dunia tulis menulis.

Dirinya telah menemukan passion sebagai penulis sejak dini. Keinginannya kuat menjadi seorang penulis ditangkap oleh pengasuh pondok pesantren. Pengasuh membimbingnya belajar menulis karya sastra.

Keseriusannya menulis berbuah. Saat menjadi siswa sekolah menengah pertama. Cerita pendeknya untuk pertama kali dimuat di Suara Merdeka. Setelah terbit di koran lokal Jawa Tengah itu.  Karyanya cerita pendek dan puisi dimuat diberbagai media.

Tekatnya sebagai sastrawan tetap membara. Masih remaja sudah membaca esai dan karya sastra serius. Tekatnya tak pernah padam. Bahkan membuncah. Buktinya. Dia menenteng lima majalah sastra Horison. “Suatu saat. Saya harus menjadi redaktur majalah ini, “ katanya tempo dulu.

Untuk mewujudkan mimpinya. Dia hijrah ke Jogja. Tak punya uang. Tak menyerah. Mencari bantuan pada pejabat di daerah. Uang yang diberikan hanya cukup untuk  biaya transportasi. Sampai Yogya kehabisan uang.  Niatnya tinggal di Yogya tak pernah surut. Untuk bertahan hidup di Jogja. Dia menjual koran. Menjajakan buku dari kampus ke kampus.

Di samping bekerja agar bisa survive di Jogja. Dia terus belajar menulis karya sastra. Dirinya belajar sastra pada orang-orang yang sudah mapan. Selain belajar sastra. Seiring waktu berdetak. Dirinya melanjutkan kuliah.

Buah dari belajar pada senior. Karyanya mampu bersaing dengan penulis-penulis yang sudah punya nama. Cerpen dan puisi mampu menembus koran-koran nasional. Sebagai sastrawan juga dilejimitasi oleh antologi cerpenyang dia terbitkan, yaitu Mata Blater, Karapan Laut, dan antologi puisi Taneyan. Dan saat ini sedang menyiapkan novel.

Berkah dari kegigihan terus meningkatkan eksistensinya sebagai sastrawan. Mimpinya beberapa tahun silam. Benar-benar terwujud. Sekarang dia menjadi redaktur majalah  Horison.

Namanya dalam dunia sastra tetap terjaga. Mahwi Air Tawar. Nama belakang ternyata diambil dari nama desa  kelahirannya.Rahasianya adalah harus tetap andap ashor dan tak boleh sombong, meski sudah berhasil mewujudkan mimpi.

Rahasia lain dibalik pencapaiannya yaitu harus memiliki rasa percaya diri. Meski berasal dari kampung. Tak boleh minder. Harus menjadi petarung. Tak boleh kalah dengan orang lain. Harus berusaha memiliki kualitas pribadi melebihi dari orang lain dalam hal berkarya.

Rupanya konsep diri seperti itu yang membawa Mahwi Air Tawar berhasil menjadi sastrawan.