GUNUNGKIDUL – Agar profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hendaknya didukung dengan kejelasan perangkat aturan. Salah satunya mengatur tentang hak keuangan anggota BPD.
Demikian disampaikan anggota DPRD Gunungkidul Ari Siswanto menanggapi rekrutmen BPD yang sedang berlangsung. BPD belum diimbangi aturan daerah konkret.
“Akibatnya, muncul kesan BPD hanya sebagai formalitas saja,” kata Ari (30/7).
Padahal kedudukan BPD penting. Sebagai representasi suara warga desa. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPD sama dengan anggota dewan. Hanya saja, praktik di lapangan tidak demikian. Karena muncul presepsi ketugasan BPD bersifat sosial.
“Kami mengusulkan agar honor BPD bisa setara perangkat desa. Kalau tidak setara, minimal persentasenya 30 persen di bawah perangkat desa,” ujar Ari.
Jika aturan tidak segera dibenahi, dikhawatirkan kekuasaan pemerintah desa (pemdes) lebih dominan. Sehingga berimbas pada lemahnya proses demokrasi tingkat desa. Akar masalah yang dapat ditarik adalah secara normatif belum adanya regulasi spesifik tentang BPD.
“Sebenarnya usulan mengenai regulasi menyangkut honor sudah kami sampaikan. Namun eksekutif beralasan minim anggaran,” ungkap Ari.
Ketua Solidaritas Kades se-Gunungkidul Sutiyono mengakui honor BPD masih jauh dari layak. Pihaknya mendukung usulan meningkatkan besaran nilai rupiah yang diterima BPD.
“Mungkin bisa diawali dengan pembentukan paguyubab BPD se-Gunungkidul. Sehingga memiliki wadah BPD se-kabupaten. Nanti bisa mencermati kebijakan pemerintah desa dengan regulasi,” kata Sutiyono.
Diakui, jika BPD ideal, bisa mempercepat pertumbuhan desa. Connect dengan program menuju desa mandiri. Keberadaan BPD mampu mencegah celah negatif perangkat desa.
“Minimal honor BPD Rp 1 juta. Wajar kalau BPD butuh keseimbangan honor atau pengharagaan,” kata Sutiyono. (gun/iwa/fj)