Mataram mengalami tata titi tentrem di masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono I. Lebih dari satu dasa warsa, situasinya relatif terkendali. Tak ada lagi pergolakan berarti. Situasi cepat berubah setelah Paku Buwono I wafat. Lawan yang menggoyang kekuasaan bukan lagi oposisi di luar istana. Namun justru datang dari keluarga raja.

Keadaan itulah yang dihadapi Susuhunan Amangkurat IV atau Hamangkurat Jawi. Putra mahkota Paku Buwono I itu tidak memakai gelar sebagaimana ayahandanya. Raden Mas (RM) Suryoputro lebih memilih gelar sebagaimana dipakai kakeknya.

Mula-mula Amangkurat IV menghadapi perlawanan saudara tirinya, Pangeran Diponegoro. Dia adalah putra Paku Buwono I dari garwa selir.  Semasa ayahnya berkuasa, Diponegoro mendapatkan tugas menumpas pemberontakan Arya Jayapuspita dari Surabaya. Tugas itu diberikan pada 1719.

Saat hendak pulang ke Kartasura, Diponegoro mendapatkan kabar ayahnya wafat. Tak lama setelah itu, saudaranya diangkat menjadi raja. Diponegoro tak bersedia mengakui kepemimpinan saudara tirinya, Amangkurat IV.

Dia batal pulang ke ibu kota Mataram. Bersama pengikutnya, Diponegoro mendeklarasikan diri sebagai penguasa baru. Dia mengangkat diri sebagai raja bergelar Panembahan Herucakra. Keratonnya berada di Madiun. Diponegoro kemudian berkoalisi dengan Jayapuspita, orang yang harusnya dia tangkap. Keduanya mengonsolidasi kekuatan ke Mojokerto.

Belum selesai dengan perlawanan Diponegoro, Amangkurat IV juga berkonflik dengan adiknya, Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya. Gara-garanya, raja baru mencabut hak-hak dan tunjangan yang dimiliki kedua pangeran tersebut.

Tak terima, Balitar memutuskan keluar dari istana. Dia mengumumkan menjadi oposisi dari kakaknya. Sikap Balitar itu mendapatkan sokongan dari para ulama Mataram yang anti-VOC. Naik takhtanya Amangkurat IV tidak lepas dari intervensi kongsi dagang Belanda tersebut. Muak dengan situasi itu, para ulama menyatakan dukungan terhadap perjuangan Balitar.

Dukungan juga mengalir dari Pangeran Purbaya. Bersama anak angkatnya, Pangeran Arya Mangkunegara (Kartasura), keduanya bergabung di barisan ulama dan Balitar. Mangkunegara sesungguhnya anak kandung Amangkurat IV. Namun dia lebih pro dengan ayah angkatnya.

Sayang, perlawanan dari saudara-saudara kandung Amangkurat IV itu mudah dipatahkan. Pasukan VOC berhasil memukul mundur. Balitar dan Purbaya kemudian meninggalkan Kartasura.

Pangeran Balitar mendirikan markas perjuangan di Kerta. Bekas ibu kota Mataram di era Sultan Agung itu dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan Balitar. Dia mengangkat diri dengan gelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana. Kerajaannya disebut Mataram Kartasekar.

Masalah internal ini makin rumit. Adik Paku Buwono I, Pangeran Arya Mataram, juga memutuskan keluar dari Kartasura. Putra Amangkurat I itu mendeklarasikan diri menjadi raja. Pusat kerajaannya di Pati. Dia menamakan diri Sunan Kuning atau Sunan Panutup.

Perang saudara di antara kerabat Mataram ini dinamakan Perang Suksesi Jawa II. Wilayah Mataram terbelah dan dikuasai beberapa penguasa. Kartasura dikuasai Amangkurat IV. Diponegoro bertakhta di Madiun. Bekas istana Karta di bawah penguasaan Balitar dan Purbaya. Terakhir, wilayah Pati ada di tangan Arya Mataram. Mereka semua bersaudara. Sama-sama trah Panembahan Senopati.(yog/rg/bersambung)