Berbelanja di Pasar Bantul seakan tak lengkap jika belum mampir di lapak Dawet Awet Muda Sumarno. Pelanggan rela mengantre demi segelas dawet racikan pria 65 tahun itu.

IWAN NURWANTO, Bantul

SENYUMAN selalu tersungging di bibir Sumarno. Dia tak segan bercanda untuk mengundang tawa pelanggannya. Siapa pun mereka. Pelanggan lama maupun baru. Baik pejabat, anak sekolahan, pedagang pasar, hingga ibu-ibu rumah tangga. Sumarno percaya, tertawa adalah simbol bahagia. Kebahagiaan akan membuat seseorang awet muda. Itulah resep awet muda ala Sumarno. Itu pula asal muasal label “Dawet Awet Muda” di lapaknya.

Sosoknya ramah, harga dawetnya pun murah. Tapi tidak murahan. Rasanya khas. Gurih campur manis. Segar dan nikmat. Itu yang membuat lapak dawet Sumarno tak pernah sepi pengunjung. Apalagi saat cuaca panas. Dawet Sumarno mampu menjadi pelepas dahaga.

Racikannya cukup sederhana. Tak beda dengan dawet pada umumnya. Berupa campuran santan, gula merah, dan cendol. Bedanya, si penjual selalu punya bahan canda. Yang mampu membuat pelanggan tertawa. “Rasa dawet Pak Sumarno memang khas. Beda dengan dawet lain,” ucap Syarifudin, salah seorang pelanggan setia lapak Sumarno. “Dawet ini bisa bikin ketagihan. Segelas terasa belum cukup,” sambung pria 29 tahun usai menenggak gelas ke dua.

Lapak dawet Sumarno cukup mudah ditemukan. Berada di dalam kompleks Pasar Bantul. Dekat kantor satpam. Dia berjualan dawet sejak 1975. Dari dulu tak pindah-pindah. Hanya di Pasar Bantul. Resep dawetnya adalah ramuan turun-temurun. Dari orang tuanya. “Saya dapat resep semasa tinggal di Jepara. Resepmya rahasia,” ujar Sumarno lalu terkekeh.

Segelas besar hanya Rp 3 ribu. Sangat murah. Pun untuk kantong anak sekolahan. Saat Radar Jogja menyambangi lapaknya, tubuh Sumarno yang kurus hampir tak kelihatan. Dia dikerubungi oleh pelanggan. Bahkan ada satu pelanggan yang menghabiskan 2-3 gelas. Belum lagi yang pesan dibungkus. Bisa sepuluh plastik sekaligus.

Dulu, warga Srandakan, Bantul, itu mengusung dawetnya dengan sepeda kayuh. Dari rumah ke pasar. Kini, seiring bertambahnya pelanggan, Sumarno pun menyewa jasa tetangganya. Untuk mengusung dawet ke pasar.

Di lapaknya Sumarno hanya ditemani istri, Masitun. Sang istri membantu mencuci dan menyiapkan gelas untuk pelanggan. Keduanya rutin berjualan sejak pukul 06.00 hingga 14.00. Atau bisa lebih lama. Sampai semua dagangan habis.

Sehari Sumarno mampu menjual sedikitnya 10 ember dawet. Tiap dua ember setara kurang lebih 500 gelas. Jadi setiap hari dawet terjual rata-rata 2.500 gelas. Itu berarti pendapatan per harinya bisa mencapai Rp 7,5 juta. Hanya dari satu lapak. Dari situlah Sumarno mampu menyekolahkan keenam anaknya. Yang salah satunya terbilang sukses. Berprofesi sebagai pengajar di pondok pesantren. Sedangkan anak-anaknya yang lain memilih wiraswasta. Ada yang bergelut di bidang pertanian dan peternakan. “Tinggal satu anak saya yang belum mentas (masih sekolah, Red),” ungkapnya.(yog/rg)