GUNUNGKIDUL – Kawasan Geopark Gunung Sewu di wilayah Gunungkidul memiliki luas 1.802 kilometer persegi. Lebih luas dari kawasan geopark yang berada di Kabupaten Pacitan (Jatim) dan Wonogiri (Jateng).
Paling luas tetapi ada banyak kendala. Salah satunya adalah status kepemilikan lahan.
Misalnya, lokasi Geosite Lembah Bengawan Solo Purba di Desa Pucung, Kecamatan Girisubo. Selain itu, kawasan Gunung Batur berada di wilayah Pantai Siung hingga ke timur Kecamatan Girisubo. Warisan bumi tersebut berada di atas lahan milik perorangan.
Pemerintah tentu tidak bisa melarang masyarakat untuk menjual lahannya yang berada di sekitar lokasi geosite. Atau, melarang pemilik lahan mendirikan bangunan di lahan tersebut.
Ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan oleh warga. Mereka dilarang merusak dan menjadikan lahan sebagai lokasi tambang. Sebab, hal itu tak sesuai dengan tata ruang.
Geopark tidak anti terhadap investasi dan aktivitas penambangan. Syaratnya, aktivitas yang dilakukan sesuai dengan koridor peraturan yang ada.
”Jadi memang, ada lokasi geosite pada lahan milik warga. Kami bersyukur sampai dengan sekarang tidak ada aktivitas menyimpang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan menjaga warisan bumi. Sepanjang dipergunakan untuk kegiatan konservasi dan wisata, diperbolehkan,” kata Sekretaris Dinas Pariwisata Gunungkidul Hari Sukmono.
Sementara itu, Wakil Bupati Gunungkidul Immawan Wahyudi mengatakan, Geopark Gunung Sewu tidak hanya menjadi tanggung jawab Gunungkidul. Pengelolaannya lebih terkait persoalan kehormatan sebagai daerah dalam pelestarian lingkungan menyatu dengan kebijakan kebijakan sosial ekonomi.
”Jaringan internasional sangat penting untuk kemajuan daerah. Kami bersyukur Geopark Gunung Sewu diakui UNESCO. Padahal, daerah lain yang sudah berusaha lebih lama untuk mendapatkan pengakuan, hingga kini belum mendapatkan pengharagaan,” katanya.
Namun demikian, Immawan mengaku masih memiliki ganjalan kecil. Ini berkaitan dengan pemanfaatan lahan karst yang dimiliki masyarakat. Lahan karst dikhawatirkan akan merusak ekosistem jika dimanfaatkan untuk kegiatan terkait ekonomi.
”Masalahnya agak di luar geopark, yaitu regulasi pendayagunaan aset warga, yang kemudian ternyata berkait dengan karst. Ini kan ada dua sisi bertolak belakang di mana warga dijamin UUD 1945 memiliki aset lahan sebagai modal untuk hidup dan penghidupan. Sisi lain, pentingnya pelestarian alam,” ujarnya.
Pemkab Gunungkidul, menurut Immawan, khawatir masyarakat Gunungkidul yang memiliki lahan karst dianggap kurang peduli dengan misi dari geopark. Ke depan harus ada kepastian, apakah lahan yang spesifik karst dilarang sepenuhnya untuk dikelola. Jika demikian, konsekuensi pemerintah adalah memberikan kompensasi.
”Kalau tidak ada kompensasi, tidak adil. Apapun alasannya,” tegasnya. (gun/amd/zl)