BANTUL – Tingginya harga cabai tak berbanding lurus dengan nasib petani. Harga jual bumbu dapur berasa pedas itu justru fluktuatif di tingkat petani. Harga cabai teropong, misalnya, di angka Rp 29 ribu per kilogram (kg).
”Harga jual di tengkulak memang segitu,” jelas Suyati, petani cabai di sela memanen cabai teropong di sawahnya Minggu (4/8).
Warga Donotirto, Kretek, ini tahu betul harga cabai teropong di pasaran lagi tinggi-tingginya. Pedagang menjualnya Rp 70 ribu per kg. Kendati begitu, Suyati tak dapat berbuat banyak. Toh, harga Rp 29 ribu per kg itu sudah naik dibanding akhir bulan lalu.
”Bulan Juli harganya Rp 25 ribu per kg,” sebutnya.
Meski tinggi dibanding hari biasanya, perempuan 58 tahun ini menyebut harga itu belum sebanding. Meski sekadar untuk balik modal. Sebab, tidak sedikit tanaman cabai yang terserang hama ulat. Lahan seluas 120 meter persegi, misalnya, hanya menghasilkan dua kuintal cabai.
”Biasanya lebih,” ujarnya.
Suyanto, petani lainnya mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, musim kemarau berpengaruh terhadap pasokan air. Jamak petani yang akhirnya mengandalkan sumur pantek. Namun, pasokan air sumur pantek itu tidak seberapa.
”Belum lagi hama ulat. Belum memerah, buahnya sudah membusuk,” keluhnya.
Karena itu, petani 60 tahun ini tidak sedikit petani yang gagal panen. Dampaknya, harga cabai di pasaran melambung tinggi.
”Saat ini menanam cabai teropong dan keriting,” kata petani asal Parangtritis, Kretek, ini.
Kepala Seksi Distribusi dan Harga Kebutuhan Pokok, Dinas Perdagangan Bantul Zuhriyatun Nur Handayani tak menampik tingginya harga cabai akibat petani gagal panen. Kebutuhan pasar tak berbanding dengan pasokan. (cr6/zam/zl)