Semua itu berangkat dari kegelisahan Sujono. Karena lingkungannya tercemar limbah plastik. Dia pun mengolah limbah plastik menjadi bahan pewarna lukisan. Hasilnya ternyata tak kalah dengan lukisan cat akrilik.
AHMAD SYARIFUDIN, Magelang
DI usia yang menginjak 49, Sujono ingin terus mengabdikan diri pada dunia seni dan lingkungan. Ya, seniman yang terkenal dengan karya Topeng Saujana itu memang bukan seniman biasa. Dia juga aktivis lingkungan. Banyaknya limbah plastik terbuang membuatnya prihatin. Karena plastik tak bisa terurai.
Sujono yang juga bertani merasakan betul dampak pencemaran lingkungan akibat limbah plastik.
Karena sulit terurai, limbah plastik menggunung. Setiap hari volumenya terus bertambah. Apalagi jika limbah itu masuk area pertanian. Tanah sawah pun tercemar. Produksi pertanian terganggu. “Plastik itu bikinnya lima menit, terurainya bisa 40 tahun,” ungkap Sujono kepada Radar Jogja. “Termasuk sisa-sisa mulsa. Itu justru berakibat buruk bagi hasil pertanian,” tambahnya.
Bapak dua anak itu lantas memeras otak. Agar limbah plastik tak lagi menjadi momok petani. Lalu tebersit ide. Mendaur ulang limbah plastik. Supaya bisa dimanfaatkan lagi. Dalam wujud lain. Maka dimulailah proses kreatifnya. Sesuai garis seni dalam dirinya. Dia yakin limbah plastik bisa menjadi media lukis.
Butuh waktu cukup lama bagi Sujono untuk bereksperimen. Sejak tahun lalu. Dia mencoba memformulasikan limbah plastik yang dia kumpulkan dari pengepul. Diolah menjadi bahan pewarna. Untuk lukisannya.
Semula Sujono mencoba leburan plastik. Dioleskan begitu saja ke kanvas. Hasilnya tak memuaskan. Karena leburan plastik tak menempel kuat di kanvas. Mudah copot dan pecah.
Sujono tak patah arang. Dia lantas mencampur adonan limbah plastik bepewarna dengan lem tembak.
Lem tembak untuk melenturkan plastik. Saat dioleskan ke kanvas ternyata hasilnya lebih baik dari leburan plastik oles. Bahkan lebih awet ketimbang cat akrilik. “Saya gulung (kanvas, Red), lalu saya cuci. Tidak pecah,” ungkap warga Dusun Keron, Krogowanan, Sawangan, Kabupaten Magelang.
Jadilah formula itu. Meski pewarnanya berbahan dasar plastik daur ulang, Sujono ingin lukisannya tetap dihargai tinggi. bahkan lebih tinggi dibanding lukisan akrilik. “Paling tidak ya Rp 10 juta hingga Rp 30 juta,” ujarnya. Harga yang cukup fantastis. Untuk sebuah lukisan berbahan limbah. Harga itu tentu tak dinilai dari bahannya. Tapi hasil karya seninya. Juga jerih payahnya. Dan yang pasti niat baik dan semangatnya. Untuk menekan pencemaran lingkungan.
Pengerjaannya pun butuh waktu lebih lama. Setidaknya dua kali lebih lama dibanding melukis dengan cat akrilik. “Tiap tahap pembuatannya juga memiliki tantangan tersendiri,” kata Sujono.
Pecahan plastik dia letakkan di cetakan kue apem. Cetakan apem itu sebagai pengganti palet. Untuk memadukan warna-warna. Cetakan apem ditaruh di atas kompor menyala. Api melelehkan plastik sedikit demi sedikit. “Pengapian harus hati-hati. Kalau terlalu besar jadi kecoklatan,” jelasnya.
Plastik yang meleleh lantas dia oleskan ke kanvas. Menggunakan pisau palet. Bukan kuas. Dia melukis walang kekek.
Jangan tanya soal baunya. Sangat menyengat. Sujono sampai harus menutupi hidungnya dengan dua masker.
Setiap lukisannya butuh sedikitnya setengah kilogram plastik. Saat ini sudah 11 karya yang dihasilkan. Semuanya dengan pewarna berbahan limbah plastik. Tiga di antaranya diberikan kepda warga Malaysia. Sebagai kenang-kenangan. Satu lainnya disimpan di Museum Lima Gunung.
Besar harapannya. Gaya melukisnya dengan bahan limbah plastik ditiru seniman lain. Sujono pun membuka diri bagi siapa saja yang ingin belajar.
Itulah cara Sujono menyelamatkan lingkungan dari bahaya limbah plastik. Sekaligus menahbiskan lukisan limbah plasti itu sebagai karya puncaknya.(yog/rg)