JOGJA – Fenomena menjamurnya pertamini membuat Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman dilema. Sebab, status hukum penjualan bahan bakar minyak (BBM) secara eceran adalah ilegal.

”Belum ada payung hukumnya,” jelas Riyanto, staf Perdagangan Disperindag Sleman di kantornya Senin (5/8).

Merujuk pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha hilir dilaksanakan badan usaha yang telah memiliki izin usaha. Dan, izin usaha ini dikeluarkan oleh menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Berdasar regulasi itu, Riyanto menyimpulkan bahwa SPBU-lah yang seharusnya menjadi hilir penjualan BBM secara eceran. Bukan pertamini maupun kios-kios kecil di pinggir jalan. Risikonya, penjual BBM eceran ini bisa dijerat dengan pasal 53 huruf ”D”Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ancaman hukumannya pidana penjara maksimal tiga tahun dan denda paling tinggi Rp 30 miliar.

Kendati begitu, Riyanto menyebut ada beberapa daerah yang mengeluarkan kebijakan. Itu untuk mengakomodasi para penjual BBM eceran. Biasanya, penjual BBM eceran ini mengantongi surat rekomendasi dari pemkab. Surat ”sakti” ini digunakan penjual eceran mengulak BBM di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum).

Nah, pertamini di Kabupaten Sleman hanya berbekal surat rekomendasi dari SPBU. Fenomena inilah yang membuat disperindag galau. Meski, pertamini juga harus mengantongi izin dari pemerintah desa dan kecamatan.

Perizinan dari dua instansi itu sebagai salah satu bentuk pengawasan. Agar tak ada praktik penimbunan BBM.

”Kebijakan ini semata-mata karena pertimbangan ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Aspek keselamatan juga membuat disperindag galau. Riyanto meminta pemilik pertamini harus memperhatikan aspek keselamatan saat proses penjualan. Sebab, pompa yang digunakan pertamini menggunakan daya listrik. Berpotensi menyebabkan kebakaran.

”SPBU yang memang ada SOP (standar operasional prosedur) saja bisa ada kecelakaan. Apalagi dengan alat dan penggunaan yang tidak sesuai SOP,” ingatnya.

Karena itu, disperindag saat ini sedang menggodok kebijakan baru. Itu sebagai solusi penanganan pertamini.

Meski sama-sama berada di wilayah DIJ, Pemkab Bantul punya kebijakan sendiri perihal penjualan BBM eceran. Pemkab melalui Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Perindustrian (DKUKMP) memperbolehkannya. Syaratnya, penjual BBM eceran memiliki izin usaha mikro kecil (IUMK).

”Sebelum mengajukan izin, mereka harus punya rekomendasi. Salah satunya dari RT,” jelas Kepala Seksi Standardisasi Industri dan ESDM DKUKMP Bantul RE Haryana Sapta Atmaka.

Terkait pembelian BBM di SPBU, kata Haryana, ada pembatasan. Bagi penjual BBM eceran di kios maksimal 50 liter per hari. Sementara, pertamini bisa membeli hingga 200 liter per hari.

”Yang boleh dibeli pertalite dan pertamax. Premium dan BBM bersubsidi dilarang,” tegasnya.

Sementara itu, agen penjual pertamini mengklaim, mesin yang dijual ke penjual BBM eceran aman. Kualitasnya tak kalah dengan mesin SPBU.

”Kami terdaftar di Aliansi Pengusaha Pom Mini Indonesia (APPMI),” kata Sahid, agen penjual mesin pertamini melalui sambungan telepon Senin.

Sahid berdalih mesin yang digunakannya berbeda dengan produsen pertamini lainnya. Penggerak mesin rakitannya menggunakan pompa bekas mobil Toyota Avanza.

”Banyak mesin yang pakai pompa air. Itu yang bahaya mas,” dalihnya.

Keunggulan lain mesinnya, Sahid menyebut, memiliki sensor. Sensor ini bisa mendeteksi berapa liter BBM yang dikeluarkan mesin. Plus berapa rupiah yang harus dibayarkan pembeli.

”Harganya bervariasi. Tergantung kapasitas tangkinya. Paling murah Rp 10 juta,” sebutnya. (cr7/cr6/cr12/zam/rg)