JOGJA – Sudah hampir separuh jalan ARTJOG MMXIX berlangsung, sejak dibuka mulai 25 Juli lalu hingga 25 Agustus mendatang. Festival seni kontemporer tahunan ini konsisten digelar di Jogja National Museum (JNM) dengan mengusung tema ”Common Space”.
Panitia publikasi ARTJOG MMXIX Dhimas Langgeng mengatakan, setidaknya sekitar 1.000 orang pengunjung datang dalam satu hari. ”Paling ramai siang sampai sore sih, mungkin karena untuk foto-foto di luar masih terang, kalau agak malam mulai lebih lengang,” jelasnya saat ditemui Radar Jogja akhir pekan lalu.
Dhimas menambahkan, untuk jumlah karya seni dan senimannya memang lebih sedikit dibanding Artjog di tahun-tahun sebelumnya. Hanya 39 peserta. Namun menampilkan lebih banyak kolaborasi antarseniman. Menghasilkan karya yang lebih masif dan kompleks juga.
Salah satu kolaborasi yang cukup menarik pengunjung yakni Warung Murakabi dari Piramida Gerilya. Instalasi seni berbentuk warung dengan nuansa kampung ini berada di lantai satu. Kolaborasi yang diusung oleh Singgih S Kartono dan Indieguerillas, bersama Lulu Lutfi Labibi, Agung Satriya, Adamuda, dan Sindhu Prasastyo.
Singgih menjelaskan, Warung Murakabi ini sebagai awal memulai gerakan kreatif berbasis lokalitas, untuk mewujudkan kemandirian dan kelestarian. Murakabi diambil dari bahasa Jawa yang artinya bermanfaat bagi sesama dan mencukupi. Selaras dengan tema Common Space, karya ini dibuat dengan menerapkan asas gotong royong. ”Ini semua nilai-nilai lokal yang ingin dirasakan di kehidupan sehari-hari, di mana produsen dan konsumen ketemu,” jelasnya.
Jika masuk ke area Warung Murakabi, penunjung disambut dengan suara “Tumbas..”. Suara tersebut, kata Singgih, sebagai perwujudan dari ingatan tentang warung zaman dulu.
”Ada bunyi tumbas, dulu kita kalau ke warung seperti itu, ada chemistry yang ingin kamu temukan kembali dalam kehidupan sekarang, sangat perlu di tengah kehidupan yang semakin materialistis dan individualistis,” bebernya. (*/tif/ila)