SLEMAN – Kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) saat musim kemarau masih kerap terjadi di beberapa daerah. Termasuk potensi karhutla di Lereng Merapi.

Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) hingga kini terus melakukan upaya untuk meminimalisasi karhutla. Agar kejadian seperti tahun 2015 tidak terulang.

Kasi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 1 Balai TNGM Wiryawan menjelaskan pihaknya telah melakukan berbagai upaya mencegah karhutla. Apalagi pada Agustus menurut perkiraan Badan Meteoroloi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan puncak kemarau.

“Kami sudah mempersiapkan langkah pencegahan selama musim kemarau, agar tidak ada kejadian karhutla,” kata Wiryawan saat dihubungi Jumat (9/8).

Sejauh ini pihaknya telah melakukan patroli. Terutama di daerah yang sering terjadi karhutla. Setidaknya ada 34 personel yang diterjunkan untuk patroli. Yaitu meliputi daerah Magelang dan Sleman. “Untuk patroli tidak kami patok berapa kali dalam sebulan karena lokasinya dekat,” kata Wiryawan.

Selain patroli, pihaknya juga melibatkan personel kepolisian. Termasuk melibatkan masyarakat untuk menginformasikan kejadian dan juga membantu memadamkan api.

“Kami ada Masyarakat Mitra Polhut (MPP) yang merupakan kelompok masyarakat sadar wisata (Pokdarwis). Di berberapa lokasi rawan sudah ada,” ujar Wiryawan.

Lokasi rawan karhutla, meliputi wilayah Jurang Jero, Srumbung, Dukun yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Kemudian Cangkringan, Pakem, Turi Kabupaten Sleman.

Sejauh ini pihaknya mencatat ada satu kejadian karhutla. Di objek wisata Jurang Jero, Srumbung, Magelang. Kejadiannya pada minggu ini. Saat ini kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Untuk mengetahui penyebab kebakaran. Serta mencari apakah ada unsur kesengajaan.

“Kami belum bisa memastikan, tapi lahan yang terbakar di Jurang Jero seluas 25 meter persegi dan langsung bisa dipadamkan,” katanya.

Untuk memadamkan api, pihaknya masih mengandalkan gebyok. Itu untuk kebakaran skala kecil. Namun, jika kebakaran itu berpotensi meluas pihaknya telah menyiapkan mobil pemadam kebakaran dan jet shooter. “Sejauh ini alat-alat itu sudah mencukupi,” ujar Wiryawan.

Dia mengimbau masyarakat tidak sembarangan membuat api. Utamanya di daerah rawan. Sebab percikan api kecil bisa memicu kebakaran. “Kami juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, papan larangan juga sudah kami buat,” katanya.

Kasi Operasional dan Investigasi UPT Damkar Sleman Suwandi mengatakan hingga 30 Juli 2019 sudah ada 66 kali kejadian kebakaran. Jumlah itu mengalami penurunan. Dibanding jumlah kejadian per 30 Juli 2018 sebanyak 71 kali kejadian kebakaran. “Sejauh ini kasus kebakaran tidak menimbulkan korban jiwa,” kata Suwandi.

Selama ini kasus kebakaran di Sleman didominasi kebakaran lahan pekarangan. Penyebabnya masih banyak masyarakat membakar sampah sembarangan. Selain itu ada juga kebakaran rumah. Penyebabnya biasanya karena korsleting.

“Untuk masyarakat kalau meninggalkan rumah untuk dicek kembali, cabut colokan, kalau bakar sampah jangan ditinggal agar api tidak merembet,” imbau Suwandi. (har/iwa/fj)