SLEMAN – Pemenuhan kebutuhan air bersih merupakan masalah klasik yang kerap mendapat sorotan. Termasuk di wilayah DIJ yang kini tengah dilanda musim kemarau. Misalnya di Kabutpaten Gunungkidul, masalah ketersediaan air bersih seolah menjadi agenda tahunan akibat kondisi curah hujan, geomormologi dan geologi setempat.

Menyikapi permasalahan tersebut Institut Teknologi Yogyakarta (ITY), berkolaborasi dengan Nanyang Technological University (NTU) Singapura menghelat kegiatan Seminar Internasional bertajuk ‘Sustainble Water Management’ di Sahid Jaya Hotel & Convention, Depok, Sleman, Kamis  (20/8).

Rektor ITY Prof Chafid Fandeli mengungkapkan, dalam mendalami isu ini, ITY telah bekerja sama dengan NTU selama empat tahun demi mengembangkan sumber daya air di beberapa wilayah Gunungkidul. “Model development ini nantinya juga bisa ditransfer ke propinsi lain yang memiliki kesamaan ekosistem yakni ekosistem yang kering,” tuturnya.

Beberapa kegiatan nyata hasil kerja sama yakni penyediaan air bersih di Telaga Nangsri Kecamatan Semanu, kegiatan Save Telaga di Telaga Winong Kecamatan Saptosari, dan penyediaan air bersih di Desa Watugajah Kecamatan Gedangsari.

Air bersih sendiri merupakan kebutuhan dasar masyarakat sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia cakupan air minum aman masih berikisar 72 persen. “Berarti dari 260 juta jiwa penduduk ada 75 juta jiwa yang belum menikmati akses air minum bersih,” ungkap Direktur Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Agus Ahyar.

Data World Health Organization (WHO), Indonesia berada diperingkat 7 dari 11 negara untuk ketersediaan akses air. Padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya air tawar yang melimpah, yakni sebanyak 2019 miliar meter kubik. “Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan besar”, jelasnya.

Seminar ini menghadirkan pembicara dari Kementerian PUPR RI, NTU, Khon Kaen University Thailand, University of Peradeniya Sri Lanka, Universitas Gadjah Mada dan ITY. (sce/cr16/er)