Workshop di dalam rangkaian acara Seamex dibuka dengan sharing asyik tentang alat musik perkusif dari Iwan Wiradz. Sedikit cerita tentang siapa Iwan Wiradz, dia memulai perjalanannya di industri musik sebagai pemain perkusi sejak tahun 1979. Selain sebagai seorang pemain perkusi, dia juga seorang arranger dan komposer. Kariernya dimulai ketika dia bertemu dengan seorang maestro musik asal Indonesia yaitu Elfa Secioria yang sukses di luar negeri dan memiliki banyak konser tour dunia.

Iwan dalam acara workshop kali ini berbagi ilmu tentang ritme. Dalam sebuah musik, ritme jelas memiliki peran yang penting. Ritme perlu mendapat perhatian khusus karena tidak semua orang bisa meletakkan ruh irama tertentu kepada ritme. Ritme jika kita memahaminya lebih dalam adalah elemen primitif yang memang sudah ada sejak manusia lahir, yaitu detak jantung.

Belajar ritme seperti kita belajar memahami detak jantung yang ada di dalam tubuh kita masing-masing. Namun, di dalam musik tentu ritme akan lebih kompleks. Yang perlu digaris bawahi adalah persoalan continue di mana ritme juga bersifat continue hingga komposisi musik itu berakhir seperti detak jantung kita.

Ritme yang continue akan membentuk irama yang bisa mengubah atau menunjukkan genre musik tertentu. Banyak orang masih kurang tepat beranggapan bahwa irama selalu identik dengan perkusi, bahwa irama merupakan wilayah dari instrumen perkusi.Padahal sebenarnya lebih dari itu, semua pemusik hingga vokalis pun harus paham persoalan irama.

Pada kasus yang lain, irama bisa menjadi sebuah ruang dialog antarbudaya musik tertentu. Sederhananya mari kita lihat contoh yang disampaikan dalam materi workshop  oleh Iwan Wiradz. Iwan dalam workshop-nya menunjukkan contoh lagu Cublak-Cublak Suweng asal Jawa (khususnya Surakarta dan Jogjakarta), disajikan menggunakan irama Sunda dengan menggunakan alat musik perkusi kendang jaipong. Pada sajian musik ini ada dua bahasa yang berdialog yaitu Jawa dan Sunda. Lebih lanjut lagi, Iwan menyajikan lagu Cublak-Cublak Suweng dengan menggunakan irama Latin dan juga Brazilian. Ya, dua budaya yang berbeda kembali berdialog lagi dalam ruang Irama.

*Penulis merupakan mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta