RADAR JOGJA – Kota Jogja terus mengukuhkan diri sebagai kota inklusi. Termasuk bagi para penyandang difabel. Salah satunya Kampung Bugisan, Patangpuluhan, Wirobrajan, Jogja mencanangkan sebagai Kampung Ramah Difabel dan kampung wisata, Minggu lalu (8/9).

Pencanangan dilakukan secara langsung oleh Wakil Wali Kota Jogja, Heroe Poerwadi. Diawali dengan peninjauan mural yang digoreskan oleh anak muda warga Bugisan pada tujuh dinding pintu utama jalan masuk gang Sriloka. Tidak hanya itu, HP juga turut menggoreskan pesan pada dinding itu bertuliskan “Warga RW 05 super kreatif, warganya rukun, guyub dan gotong royong” ujarnya sebelum membubuhkan tanda tangan.

Selanjutnya, HP kemudian diajak menuju ke kampung wisata pendopo dan koleksi 200 lebih sepeda onthel pun menggunakan onthel menuju lokasi. Lalu menuju ke panggung seni utama malam karya RW 05 Bugisan menggunakan Difa Bike, yang merupakan layanan transportasi difabel untuk difabel.

Ketua RW 05, Bugisan, Muhammad Singgih Widodo, mengatakan, mengingat banyak warga Bugisan masih kekurangan fisik maka dia berinisiasi untuk memberikan bantuan secara bersinergi bersama. Ada sekitar tujuh orang dan pihaknya bekerjasama dengan mereka akhirnya membentuk kampung difabel. “Tidak hanya untuk orang-orang yang cukup fisik tapi kami merangkul difabel untuk berkarya,” jelas Singgih.

Dia menambahkan, kegiatannya itu sudah dirintis sejak kampungnya mendapatkan penghargaan juara II pada bulan Januari lalu mewakili DIJ untuk lomba kelompok sadar wisata yang salah satunya mengajak para difabel sebagai ikonik wisata.

Dia mengajak difabel untuk berkarya tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk kampungnya. Adapun wisata yang unggul salah satunya yakni Difa Bike, merupakan layanan transportasi difabel untuk difabel.”Kami hanya untuk mengajak mereka supaya mau berkarya dan berbaur dengan orang normal lainnya,” ucap dia tentang alasannya.

Selain itu, potensi wisata lainnya meliputi koleksi sepeda onthel jawa, rumah joglo, pengrajin belangkong, penjahit baju karya difabel, latihan menari anak-anak dan Ibu, pemandangan sawah, dan masih ada lagi lainnya.

Dia berharap agar setelah ini warga bisa saling bersinergi kerjasama dan gotong royong tanpa memandang normal dan tidak normalnya dari setiap warganya. Sehingga bisa mewujudkan kedepan kampungnya menjadi kampung wisata hingga ekonomi masyarakat meningkat. “Sementara masih bertahap perkenalan dan pengembangan,” katanya.

Sedangkan selaku perintis Difa Bike, Triyono mengapresiasi bukti warga kampung Bugisan yang mau merangkul para inklusi untuk terlibat memajukan wisata di kampungnya. “Tentu ini keren dan luar biasa. Aslinya inklusi itu ya seperti ini mendorong kami seperti diri kami sendiri,” ungkap Triyono.

Triyono merasa diperankan sesuai dengan dirinya pun komunitasnya yang beranggotakan 86 orang difabel yang menempatkan setiap individu menjadi dirinya sendiri. “Tidak ada paksaan, lahir dari pikiran kita masing-masing untuk melakukan ini,” tambah pria 37 tahun itu.

Pun penuh perjuangan agar bisa diterima baik oleh masyarakat di kampung Bugisan. Awalnya komunitas ini berdiri di kantor yang beralamat di Cokroaminoto secara mandiri. Hingga pada akhirnya, kampung Bugisan berpihak pada kaum penyandang disabilitas yang memiliki visi sosial ekonomi. “Dulu awal-awal masuk kesini degdegan nanti sama masyarakat gimana, kalau sendiri gakpapa lha saya bawa anggota banyak. Awalnya saya tutup dulu pintunya tapi lama-lama mereka baik dan terbuka,” cerita lulusan Sarjana Peternakan itu.

Misinya adalah bukan materi, namun sosial ekonomi untuk membangun dan bersinergi sesuai perannya di dibidang Difa Bike sehingga bisa terlibat sebagai obyek agar kampungnya memiliki nilau jual tidak sekedar mendengar namun turut serta melakukan tindakan yang bersifat sosial ekonomi.

Rencana yang ditawarkan komunitas yang dirintisnya sejak empat tahun ini segmentasinya adalah pariwisata dengan cara berkeliling membawa 1200 member se-Jogja yang saat ini ada untuk mengunjungi berbagai tempat wisata di dalam Kota khususnya juga ke kampung wisata Bugisan.

Segmentasi mereka diutamakan 70 persen adalah penyandang difabel dan 30 persen merupakan wisatawan umum. Paketnya tergantung dengan jarak minimal kecuali keluar Kota. Karena semua anggotanya adalah penyandang difabel Triyono membuat paket Rp 2.500 per kilometer untuk transportasi. Sedangkan untuk paket wisata tergantung dengan lama dan jaraknya yaitu dalam kota Rp 100 ribu, dan sekitar Jogja atau Candi Prambanan Rp 200 ribu, bahkan hingga Rp 300 ribu. “Di RW 5 ini lebih cepat memberikan arahan untuk kami. Satu hal yang saya tekankan disabilitas itu komplek ada tiga kategori fisik, indra, dan mental. Ini yang mau gak mau harus dihadapi dan disesuaikan dengan kondisi itu,” tuturnya.

HP pun berharap RW 05 di Kampung Bugisan ini termasuk yang sangat kreatif dan luar biasa potensinya. Khususnya mau merangkul anak-anak difabel membuat Difa Bike. Sehingga jika kemudian kampung ini mau mendeklarasikan kampung wisata rintisan budaya itu dinilainya pantas karena beberapa potensinya.

Menurut dia, banyak potensi anak muda dengan muralnya, tariannya anak-anak yang dilibatkannya, potensi wisatanya, juga mau merangkul anak-anak difabel. “Semoga apa yang diniatkan ini bisa membawa kemajuan bagi lingkungan kita dan membawa kesejahteraan kampung Bugisan,” harapnya. (**/cr15/pra/tif)